61 Kasus Anak Berhadapan dengan Hukum Didampingi DPPPA Makassar Sepanjang 2025
Hukuman bagi anak, dibawah 14 tahun hanya dapat dijatuhi tindakan, seperti pengembalian kepada orang tua atau pembinaan di LPKS.
Penulis: Siti Aminah | Editor: Alfian
Ringkasan Berita:
TRIBUN-TIMUR.COM, MAKASSAR - Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DPPPA) telah melakukan pendampingan terhadap 61 anak yang berhadapan dengan hukum (ABH).
Selain anak sebagai korban, DPPPA juga mencatat kasus anak yang justru menjadi pelaku kekerasan maupun kriminal.
Kasus didominasi pencurian motor atau curanmor, narkotika, hingga perkelahian.
Pendamping Kasus UPTD PPA Makassar, Abu Thalib menyampaikan, pendampingan yang diberikan berupa konseling atau psikologis hingga menyiapkan kuasa hukum bagi anak.
"Untuk pendampingan tentunya kita melakukan dulu asesmen bagaimana kebutuhan-kebutuhan terkait dengan anak yang berhadapan dengan hukum ini masih bisa didapatkan selama proses hukumnya," ucap Abu Thalib.
Hal ini disampaikan Abu Thalib dalam diskusi bertajuk Efektivitas Penanganan Anak Berhadapan Hukum.
Kegiatan ini dihadiri perwakilan Polrestabes, Polres Pelabuhan, Polsek Se Kota Makassar, Bapas, Sakti Peksos, Sentra Wirajaya, RPTC, Babinsa, Babinkamtibmas, Satpol PP dan PATBM di 15 Kecamatan.
Baca juga: Polda Sulsel Gandeng Cyber Bareskrim Cari 3 Anak Penculik Bilqis Diduga Telah Dijual
Kegiatan berlangsung di Hotel Best Western Jl Bontolempangan, Jumat (114/11/2025).
Dalam pendampingan yang dilakukan, DPPPA juga wajib memastikan hak-hak anak utamanya pendidikan tetap didapatkan.
"Kalau ada yang sekolah, kita upayakan koordinasi dengan pendidiknya, kepolisian, agar dia tetap sekolah walaupun dalam proses hukum," jelas Abu Thalib.
Untuk anak yang dipulangkan pasca melalui proses hukum, UPTD PPA juga mengunjungi rumah ABH untuk melihat secara langsung bagaimana penerimaan keluarganya, begitu juga dengan lingkungan sosial anak.
Sementara anak yang kasus hukumnya masih berlanjut di APH, tetap diberikan pendampingan hukum.
DPPPA menyiapkan kuasa hukum bagi kasus anak yang berposes di pengadilan.
Jika terbukti dan terjerat hukum, anak usia diatas 14 tahun harus dipastikan masa hukumannya lebih ringan atau 1/2 dari orang dewasa.
Dalam agenda ini, DPPPA juga mengundang salah satu Hakim Anak di Pengadilan Negeri Makassar, Heriyanti sebagai narasumber.
Hakim Heriyanti menyampaikan, sepanjang tahun ini ia menangani lebih dari 10 perkara ABH.
Mayoritas perkara tersebut merupakan kasus terkait narkotika.
Heriyanti menegaskan, perilaku anak yang berujung pidana tidak selalu menggambarkan karakter buruk, tetapi tetap harus diproses sesuai Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA).
Hakim akan menjatuhkan tindakan atau pidana penjara berdasarkan fakta persidangan, keterangan saksi, serta bukti yang muncul.
Heriyanti merinci dasar pemberian hukuman bagi anak, dibawah 14 tahun hanya dapat dijatuhi tindakan, seperti pengembalian kepada orang tua atau pembinaan di LPKS.
Sementara anak di atas 14 tahun dapat dikenai tindakan maupun pidana penjara, tergantung fakta persidangan.
Heriyanti juga menegaskan pentingnya mekanisme diversi, yaitu penyelesaian perkara dengan mengembalikan keadaan anak seperti semula tanpa melalui proses pemidanaan.
“Diversi bertujuan supaya anak tidak trauma dan tidak mengulangi tindak pidana,” katanya.
Namun diversi hanya dapat diterapkan jika pasal yang dilanggar berancaman pidana di bawah 7 tahun.
Selain itu, identitas anak yang berurusan dengan hukum harus disamarkan.
Hal serupa diberlakukan pada alamat dan data sensitif lainnya sesuai ketentuan peradilan anak.
Kepala DPPPA Kota Makassar Ita Istana Anwar menyampaikan ABH terdiri dari golongan anak yang melakukan tindak pidana, anak yang menjadi korban dan anak yang menjadi saksi.
Salah satu penyebab ABH diakibatkan kurangnya perhatian orang tua dalam mengajarkan etika, kurangnya kasih sayang, ekonomi dan latar belakang pendidikan.
Kasus ABH sebagai korban rata-rata terhadap pada anak perempuan yang menjadi sasaran utama tidak kekerasan seksual.
"Realitas di lapangan, khususnya di Kota Makassar sebagai kota metropolitan
dengan dinamika sosial yang tinggi, menunjukkan masih adanya anak-anak yang berhadapan dengan hukum," kata Ita.
Kasus yang melibatkan anak, baik sebagai pelaku, korban, maupun saksi, masih sering terjadi.
Bentuknya pun beragam, mulai dari perundungan (bullying), pencurian, penyalahgunaan narkotika, hingga kasus kekerasan.
"Ketika seorang anak berhadapan dengan hukum, ada masa depan yang dipertaruhkan. Anak tidak bisa dipandang hanya dari kesalahan yang dilakukan, tetapi harus dilihat sebagai individu yang masih memiliki potensi untuk diperbaiki, dibimbing, dan diberi kesempatan kedua," kata Ita.
Karenanya, ia menekankan penanganan anak yang berhadapan dengan hukum harus mengedepankan prinsip kepentingan terbaik bagi anak.
Kedua, oendekatan keadilan restoratif l harus terus diperkuat, agar penyelesaian perkara anak lebih menekankan pada pemulihan, bukan semata-mata ada penghukuman.
Ketiga, sinergi antar lembaga penegak hukum, pemerintah daerah, sekolah, keluarga, dan masyarakat harus berjalan secara efektif agar anak yang terjerat kasus hukum tetap mendapat perlindungan hak-haknya.
Keempat, penguatan pencegahan melalui edukasi, pembinaan, dan pemberdayaan anak-anak di lingkungan keluarga maupun sekolah, sehingga mereka tidak mudah terjerumus pada perbuatan yang melanggar hukum. (*)
| Asmo Sulsel Dorong Siswa SMK Jadi Teknisi Andal Lewat TEFA dan Magang AHASS |
|
|---|
| Tenun Makassar Didorong Jadi Bisnis Berbasis Kekayaan Intelektual |
|
|---|
| Wali Kota Makassar Munafri Arifuddin Pakai Mobil Pribadi Hadiri Pelantikan IKA Unhas |
|
|---|
| Membanggakan! MAN 2 Makassar Sabet 3 Emas dan 1 Perunggu di OMI 2025 |
|
|---|
| Warna Baru, Tampilan Skutik Retro New Honda Scoopy Makin Kece |
|
|---|
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/makassar/foto/bank/originals/20251114-Diskusi-Masalah-Anak-Makassar.jpg)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.