Pengamat Ekonomi Unhas: Kebijakan Purbaya Perkuat Ekonomi Nasional
Kebijakan ekonomi yang digagas Menkeu Purbaya Yudhi Sadewa dinilai memperkuat fondasi ekonomi nasional yang mandiri.
Penulis: Rudi Salam | Editor: Abdul Azis Alimuddin
TRIBUN-TIMUR.COM - Kebijakan ekonomi yang digagas Menkeu Purbaya Yudhi Sadewa dinilai memperkuat fondasi ekonomi nasional yang mandiri.
Dua narasumber dalam podcast Tribun Business Forum menilai arah kebijakan pemerintahan saat ini sejalan dengan semangat nasionalisme ekonomi dan kemandirian bangsa.
Podcast Tribun Business Forum ini disiarkan melalui kanal YouTube Tribun Timur dengan tema “Purbaya dan Dilema Suku Bunga: Antara Pertumbuhan dan Risiko.”
Hadir sebagai narasumber, Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Sulsel Satriya Madjid dan Pengamat Ekonomi Universitas Hasanuddin Prof Marsuki DEA, serta dipandu oleh host Tribun Timur, I Luh Devi Sania.
Prof Marsuki menilai kebijakan ekonomi pemerintahan baru menunjukkan semangat nasionalisme yang kuat.
“Yang saya senang dari kebijakan pemerintahan baru ini adalah semangat nasionalismenya. Pemerintah ingin mengembalikan kesadaran bahwa bangsa ini harus mandiri, mandiri pangan, mandiri energi, dan mandiri secara ekonomi,” ujarnya.
Menurutnya, kesadaran untuk berdiri di atas kaki sendiri merupakan modal dasar sangat penting.
“Kita mulai sadar bahwa selama ini ada hal-hal membuat kita tergantung dan tidak bisa mandiri,” jelasnya.
Sementara itu, Satriya Madjid menyebut dalam kondisi global yang tidak menentu, Indonesia membutuhkan sosok seperti Purbaya di berbagai kementerian strategis.
“Arah kebijakan pemerintah saat ini sudah jelas, yaitu nasionalisme dan kemandirian bangsa. Kita ingin membangun kekuatan ekonomi dari dalam, memanfaatkan potensi anak bangsa sendiri,” jelasnya.
Satriya menegaskan, untuk mewujudkan kemandirian ekonomi nasional, dibutuhkan pemimpin di setiap sektor yang memiliki semangat dan keberanian seperti Purbaya.
Berikut petikan wawancaranya.
Teman-teman pengusaha ingin duduk bersama Pak Purbaya, bagaimana melihat itu Prof?
Prof Marsuki:
Yang saya senang dari kebijakan pemerintahan baru ini adalah semangat nasionalismenya.
Pemerintah ingin mengembalikan kesadaran bahwa bangsa ini harus mandiri, mandiri pangan, mandiri energi, dan mandiri secara ekonomi.
Itu modal dasar yang sangat penting. Kita sekarang mulai sadar bahwa selama ini ada hal-hal yang membuat kita tergantung dan tidak bisa berdiri di atas kaki sendiri.
Jadi wajar kalau muncul hentakan-hentakan kebijakan di awal, karena itu bagian dari upaya mengembalikan potensi ekonomi bangsa untuk kepentingan nasional.
Saya melihat langkah-langkah seperti ini perlu, agar para pelaku ekonomi tersadar bahwa ada masalah dihadapi bersama.
Yang penting bukan lagi mempermasalahkan kondisi sulit itu, tetapi mencari jalan keluar.
Bagi pengusaha, yang paling dibutuhkan adalah kepastian, baik kepastian regulasi, arah kebijakan, maupun waktu implementasinya.
Karena itu saya sangat setuju dengan imbauan dari Kadin agar Kementerian Keuangan membuka dialog terbuka dengan berbagai pihak, tidak hanya pengusaha, tapi juga perbankan.
Supaya ada komunikasi dua arah: pemerintah tahu kondisi nyata di lapangan, dan pelaku ekonomi tahu arah kebijakan yang sedang disiapkan.
Yang dibutuhkan sekarang bukan lagi pernyataan niat atau wacana besar, tapi detail kebijakan dan waktu implementasi yang jelas.
Saya juga bersyukur ada sosok seperti Pak Purbaya yang berani membuka kotak pandora persoalan ekonomi nasional.
Itu langkah penting untuk menata ulang arah ekonomi kita agar kembali ke semangat ekonomi kebangsaan, sebagaimana tertuang dalam Pasal 33 UUD 1945.
Artinya, membangun ekonomi yang berbasis pada kekuatan rakyat, koperasi, desa, sektor pangan, kesehatan, dan pendidikan, semua berjalan beriringan dari bawah.
Namun tentu, agar semua itu bisa terlaksana dengan baik, dibutuhkan koordinasi antar kebijakan dan antar lembaga.
Jadi semangat nasionalisme dan kemandirian ini tidak hanya berhenti di tataran ideologi, tapi benar-benar menjadi gerakan ekonomi yang terstruktur dan berdampak nyata bagi masyarakat.
Bagaimana pengusaha melihat SDM atau tenaga kerja di Indonesia?
Satriya Madjid:
Dua hari lalu, teman-teman dari sektor konstruksi baja menggelar demonstrasi di Piajukai. Mereka menolak masuknya baja impor dari Vietnam dan negara-negara lain.
Ini menunjukkan satu hal penting: tenaga kerja dan kemampuan industri kita tidak kalah dengan luar negeri.
Pertanyaannya, kalau kita sudah punya industri baja dalam negeri yang bisa memproduksi sendiri, kenapa justru yang diimpor yang diterima negara.
Inilah membuat anak bangsa kita protes karena kalau impor terus dilakukan, berarti pekerja lokal kehilangan kesempatan kerja.
Padahal industri baja nasional kita ada, dan bisa dikembangkan.
Harusnya yang diberdayakan justru produksi dalam negeri, agar perputaran ekonomi terjadi di dalam negeri sendiri.
Contoh lainnya, kebijakan Pak Purbaya terkait larangan impor pakaian bekas.
Itu langkah tepat, karena kita punya industri tekstil yang besar, dengan bahan baku dan sumber daya manusia yang memadai.
Kenapa harus bergantung pada produk luar kalau kemampuan kita sendiri bisa memenuhi kebutuhan nasional? Prinsip yang sama seharusnya diterapkan juga untuk industri baja dan sektor-sektor lain.
Kemudian, terkait hilirisasi, seperti disampaikan Prof tadi, kita sudah melihat contoh keberhasilan di beberapa daerah, misalnya pabrik smelter di Luwuk yang seluruh insinyurnya anak bangsa sendiri.
Itu bukti nyata bahwa kita mampu. Maka seharusnya ke depan, pemerintah memberikan ruang yang lebih besar kepada industri dan tenaga kerja lokal untuk mengelola sentra-sentra produksi strategis, mulai dari nikel, baja, hingga komoditas lain.
Dengan begitu, pemerataan ekonomi bisa terjadi. Bukan hanya sekadar menciptakan pertumbuhan di atas kertas, tetapi membuka lapangan kerja, menguatkan industri nasional, dan menumbuhkan rasa percaya diri bahwa anak bangsa mampu berdiri di atas kakinya sendiri.
Bagaimana pengaruh ekspor Sulsel terhadap kebijakan suku bunga global?
Prof Marsuki:
Kita memang harus jujur mengakui bahwa ekspor kita belum banyak berasal dari produk olahan yang maju.
Sebagian besar masih berupa setengah olahan atau bahkan produk mentah yang sifatnya sangat konvensional.
Meski begitu, ekspor dari sektor tambang sebenarnya masih menjadi tulang punggung utama.
Kalau kita lihat, misalnya di wilayah Sulawesi Selatan, porsi ekspor dari sektor tambang mencapai hampir 60 persen dari total neraca perdagangan daerah.
Namun, pertanyaannya: siapa yang benar-benar menikmati hasil dari ekspor itu? Uang hasil ekspor itu memang tercatat besar, tetapi sebagian besar kembali ke para pengusaha, yang ironisnya, bukan pengusaha nasional.
Memang tenaga kerja di lapangan adalah orang Indonesia, tapi keuntungan besar dari ekspor itu tidak masuk ke dalam ekonomi bangsa.
Di situlah letak ironi dan kelemahan kita. Kita mencatat ekspor besar, tapi nilai ekonominya justru mengalir ke luar negeri.
Saya sering mengkritisi hal ini bahwa angka PDB kita tampak tinggi, tapi kontribusi riil terhadap kesejahteraan nasional sangat kecil.
Karena ketika kita pilah, berapa sebenarnya yang diterima oleh bangsa sendiri, hasilnya sangat rendah.
Jadi, hilirisasi yang diinginkan pemerintah seharusnya adalah hilirisasi yang dikelola oleh anak bangsa sendiri, bukan hanya memindahkan proses dari luar negeri ke dalam negeri tapi tetap dikendalikan pihak asing.
Karena kalau mesin, teknologi, dan modalnya semua masih didatangkan dari luar, kita tetap tidak mendapatkan nilai tambah yang sesungguhnya.
Inilah tantangan besar kita ke depan bagaimana memastikan hasil ekspor dan proses hilirisasi benar-benar memberi manfaat bagi bangsa sendiri, bukan hanya menjadi catatan angka di neraca perdagangan.
Satrya Madjid:
Ya, memang saya melihat ada sedikit anomali di lapangan. Permintaan rumput laut di luar negeri justru menurun, tapi harga rumput laut di dalam negeri malah naik.
Ini agak membingungkan, karena secara logika, kalau permintaan turun, harga mestinya ikut turun.
Tapi faktanya tidak begitu. Nah, ini menunjukkan bahwa ada dinamika atau mungkin kebijakan tertentu yang belum transparan di balik perdagangan komoditas ini.
Namun, fenomena itu hanya satu contoh kecil dari masalah struktur ekspor kita yang lebih besar.
Seperti yang saya sampaikan sebelumnya, keuntungan ekspor, terutama di sektor pertambangan, belum sepenuhnya dinikmati oleh bangsa sendiri.
Yang dominan masih investor asing, sementara kita hanya menjadi pelaksana di lapangan.
Sekarang bayangkan kalau situasinya bisa berbalik, hasil tambang dan sumber daya alam kita diolah sendiri di dalam negeri, melalui hilirisasi yang benar-benar dilakukan oleh anak bangsa.
Smelter dibangun dengan modal dan tenaga lokal, investasi datang dari kita sendiri.
Maka keuntungan dan nilai tambahnya akan jauh lebih besar, karena dana, teknologi, dan hasil akhirnya tetap berputar di dalam negeri.
Saya yakin, anak-anak bangsa kita sangat mampu. Kita punya banyak insinyur hebat yang bahkan diakui dan dihargai di luar negeri.
Mereka betah di sana bukan karena tidak cinta tanah air, tapi karena karya dan kompetensinya dihargai secara layak.
Kalau negara bisa menciptakan ruang dan penghargaan yang sama di sini, saya percaya mereka akan pulang dan ikut membangun Indonesia.
Itulah saya sebut sebagai kesadaran kolektif kebangsaan.
Bukan hanya tanggung jawab pemerintah, tapi juga seluruh elemen bangsa, akademisi, pengusaha, profesional, hingga diaspora Indonesia di luar negeri.
Semua harus punya semangat merah putih untuk membangun kemandirian ekonomi bangsa.
Dan saya melihat semangat nasionalisme itu sudah mulai ditunjukkan oleh Pak Prabowo.
Dalam beberapa kunjungan ke luar negeri, beliau menunjukkan posisi Indonesia yang strategis, ingin menegaskan bahwa kita bukan bangsa yang bisa dianggap kecil.
Sekarang tantangannya, bagaimana kita yang di dalam negeri ini ikut memperkuat semangat itu, dengan bekerja nyata, membangun industri kita sendiri, dan memberi ruang kepada anak-anak bangsa untuk membuktikan kemampuan mereka.
Apa yang ingin disampaikan kepada pemerintah, masyarakat, dan pelaku usaha?
Prof Marsuki:
Pertama, saya ingin menyampaikan rasa salut dan apresiasi terhadap arah kebijakan ekonomi pemerintah yang saat ini menurut saya berbasis nasionalisme.
Artinya, kebijakan yang ditempuh sudah mengarah pada upaya memberdayakan potensi ekonomi nasional dan daerah.
Kalau kita melihat dari asas dan cita-cita bangsa, sudah tergambar jelas bahwa Indonesia ini negara pertanian, negara yang harus mandiri dalam pangan, energi, kesehatan, dan pendidikan.
Sekarang semua itu mulai di-backup oleh kebijakan ekonomi yang relevan. Namun, saya melihat tantangan kita ada pada koordinasi kebijakan.
Secara struktur, kendali ekonomi nasional dipegang oleh Kementerian Keuangan, didukung oleh otoritas moneter dan kementerian sektoral.
Tapi dalam praktiknya, keseimbangan antar-lembaga ini belum sepenuhnya berjalan sinergis.
Ada yang perannya terlalu kuat, ada yang justru kurang optimal. Nah, ini perlu dibenahi supaya kebijakan ekonomi bisa berjalan serentak dan saling memperkuat.
Saya juga menilai bahwa Presiden sudah sangat jelas arah kebijakannya.
Tinggal bagaimana para pelaku ekonomi, terutama pengusaha, bisa berperan lebih aktif.
Karena pengusaha adalah motor utama pembangunan ekonomi nasional.
Sementara masyarakat, sebagai konsumen, juga punya peran penting dalam menjaga perputaran ekonomi di bawah.
Di sisi lain, lembaga legislatif juga harus menempatkan diri sebagai bagian dari rakyat dan pemerintah yang diamanahkan untuk membangun bangsa.
Jangan sampai muncul kesan bahwa DPR berada di luar sistem, seolah terpisah dari tanggung jawab pembangunan.
Kalau ada friksi antara lembaga-lembaga negara, jangan dijauhkan, tapi dicari titik temunya.
Karena hanya dengan sinergi dan rasa saling percaya, baik antar lembaga negara maupun antara pemerintah dan dunia usaha, maka stabilitas ekonomi nasional bisa terjaga.
Dari situ pula akan tumbuh kepercayaan investor, baik dari dalam maupun luar negeri.
Jadi, harapan saya sederhana, mari kita jalankan kebijakan ekonomi nasional ini dengan semangat kebersamaan, saling dukung, dan tetap berpijak pada nilai-nilai nasionalisme ekonomi Indonesia.
Satrya Madjid:
Dalam kondisi global yang tidak menentu, kita memang membutuhkan sosok-sosok seperti Pak Purbaya di berbagai kementerian strategis untuk memperkuat dan mensupport pemerintahan Presiden Prabowo.
Arah kebijakan pemerintah saat ini sudah jelas, yaitu nasionalisme dan kemandirian bangsa. Kita ingin membangun kekuatan ekonomi dari dalam, memanfaatkan potensi anak bangsa sendiri.
Namun, untuk mewujudkan hal itu, kita butuh pemimpin di setiap sektor strategis yang memiliki semangat dan keberanian seperti Pak Purbaya.
Pemimpin yang tidak hanya pandai merancang kebijakan, tetapi juga memahami kondisi nyata di lapangan.
Kami berharap Pak Purbaya bisa turun langsung menemui para pelaku usaha di berbagai daerah, agar dapat melihat sendiri situasi ekonomi riil yang dihadapi dunia usaha.
Dengan begitu, kebijakan yang lahir akan lebih tepat sasaran, berpihak pada kepentingan nasional, dan benar-benar mendorong pertumbuhan ekonomi yang mandiri.(rudi salam)
| Sosok Sinta Rosma Istri Bupati Paser Kaltim Klaim Fans Purbaya, Eks Pramugari |
|
|---|
| Keberanian Purbaya Harus Diimbangi Koordinasi Antar Lembaga |
|
|---|
| Tamsil Linrung Ajak Menkeu Purbaya Supervisi Kemandirian Fiskal Daerah |
|
|---|
| Sisi Lain Menkeu Purbaya Menteri 'Koboi' era Prabowo, Mengaji saat Terjebak Macet |
|
|---|
| Pembahasan Purbaya dan Jaksa Agung di Ruang Tertutup Terungkap, Soal Masa Lalu Pegawai Pajak |
|
|---|

Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.