LAPAR: Bawaslu Lupa Induknya, Anak Durhaka
Muh Iqbal Latif, menilai peran Bawaslu dalam menjaga demokrasi yang sehat, belum terlihat jelas.
Penulis: Muslimin Emba | Editor: Ansar
Ringkasan Berita:
- Peran Bawaslu dalam menjaga demokrasi yang sehat, belum terlihat jelas.
- Fungsi pengawasan Bawaslu terhadap praktik politik uang sangat perlu dimaksimalkan.
- Beberapa pentebab 'Mazhab' pengawasan Bawaslu tidak berjalan efektif.
- Bawaslu diibaratkan anak durhaka, nyaris tak paham bahwa induknya adalah 'politik'.
TRIBUN-TIMUR.COM, MAKASSAR - Bawaslu Kota Makassar menggelar diskusi penguatan pengawasan kelembagaan dengan melibatkan berbagai kalangan termasuk organisasi masyarakat sipil.
Diskusi itu berlangsung di kantor Bawaslu Kota Makassar, Jl Letjen Hertasning, Kelurahan Kassi-Kassi, Kecamatan Rappocini, Senin (3/11/2025).
Mengusung tema "Optimalisasi peran Stakeholder Pengawasan Partisipatif menuju Penguatan Struktur Kelembagaan Penyelenggara Pengawas Pemilu"
Forum diskusi itu dibuka Ketua Bawaslu Sulsel, Mardiana Rusli.
Dalam sambutannya, Mardiana, mengatakan, kegiatan tersebut merupakan evaluasi terhadap kerja-kerja pengawasan Bawaslu selama ini.
"Nantinya akan kami jadikan sebagai rujukan dalam memberi masukan. Misalnya penanganan pelanggaran apakah masih ada yang harus diperbaiki," ujarnya.
Ketua Bawaslu Kota Makassar, Dede Arwinsyah berharap para peserta diskusi kembali mengembangkan pengetahuan tersebut di lingkungan kerja masing-masing.
"Kita berharap isu itu bisa berangkat dari teman-teman itu bisa menyebarkan ke seluruh warga kota Makassar," harapnya.
Dua narasumber yang dihadirkan, pengamat politik dari Unhas, Muh Iqbal Latif dan Ketua Dewan Pengawas Lembaga Advokasi dan Pendidikan Anak Rakyat (Dewas LAPAR), Abdul Karim.
Muh Iqbal Latif, menilai peran Bawaslu dalam menjaga demokrasi yang sehat, belum terlihat jelas.
"Seolah-olah demokratis tetapi sebenarnya tidak demokratis. Yang ada hanya demokrasi prosedural. Esensi demokrasi tidak muncul," ungkapnya.
Fungsi pengawasan Bawaslu terhadap praktik politik uang di mata Muh Iqbal Latif, masih sangat perlu dimaksimalkan.
Jika pengawasan atas praktik 'many politic' itu kian diperketat dan ditindak tegas, maka dengan sendirinya kepercayaan publik terhadap Bawaslu akan meningkat.
"Kenapa bisa menurun, karena banyak sekali hal-hal yang muncul adalah ketidak demokrasian itu sendiri, misalnya politik uang," ujarnya.
Abdul Karim dalam paparannya mengatakan, untuk menghadirkan penguatan pengawasan kelembagaan, perlu adanya inovasi pengawasan partisipatif.
Pengawasan partisipatif kata Karim, hampir 15 tahun menjadi "mazhab" Bawaslu dalam mendorong publik mengawasi pemilu atau pilkada.
"Pertanyaannya; “bagaimana mazhab ini diamalkan?” Apakah mazhab ini punya jamaah, pengikut? Kalau ada, siapa2 mereka? Apakah mereka bekerja sesuai maksud mazhab? Kalau tidak, mengapa?," ucapnya membuka paparan.
"Kalau mazhab itu tak sukses diamalkan; kenapa? apa persoalannya? Apa kendalanya? Pernahkah dievaluasi? Apa hasilnya?," lanjutnya.
Menurutnya, ada beberapa pentebab 'Mazhab' pengawasan Bawaslu tidak berjalan efektif.
Pertama, Bawaslu lupa induknya
Bawaslu kata Karim, ibaratnya anak durhaka. Ia nyaris tak paham bahwa induknya adalah 'politik'. Bukan hukum. Adapun hukum, ia adalah instrumen implementatif untuk menjadi anak yang baik.
Karena hukum seolah induk, maka Bawaslu bekerja dengan pasal-pasal. Bukan dengan problem etik demokrasi.
Padahal, ketika etik demokrasi terinjak-injak, hukum pun terlanggar.
"Inilah salah satu faktor pemicu gagalnya pengawasan partisipatif. Publik diajak mengawas dengan disodorkan pasal-pasal dan prosedur birokratis," terangnya.
Di dunia ini lanjut Karim, pasal-pasal tak pernah sukses menggerakkan orang untuk memperbaiki keadaan. Yang menggerakkan orang kata dia, adalah politik.
Artinya, bagaimana mungkin publik mau terlibat dalam pengawasan partisipatif bila yg disodorkan adalah pasal-pasal.
"Ini pula yang membuat mengapa bawaslu gagap menjawab protes publik terhadap kinerjanya. Sebab peristiwa politik (seperti kecurangan, dll) selalunya dibaca dengan logika pasal," ujarnya.
Lebih lanjut dijelaskan, pada misi pencegahan, harusnya didekati dengan “persuasi-dialogis-psykologis” yang intens, bukan dengan daftar pasal.
Sebab kata Karim, nalar hukum tak cukup digunakan mencegah.
"Lalu, harusnya Bawaslu berbuat apa? Ada dua hal," ungkap Abdul Karim.
Bawaslu harus menjadi edukator politik demokratis untuk publik.
Karena pelanggaran-pelanggaran pemilu atau pilkada dasarnya adalah demokrasi yang tidak diletakkan sebagai basis pijakan dalam berfikir dan bertindak politik.
"Edukasi politik ini berfungsi untuk mencegah pelanggaran, membekali rakyat instrumen filter sebelum memilih, dan memunculkan inisiatif rakyat dlm mengawasi pemilu/pilkada," katanya.
Kata Karim, Bawaslu harus faham bahwa rakyat adalah pusat segalanya dlm demokrasi.
"Maka mereka harus diperkuat. Dalam kasus-kasus pelanggaran, kita temukan rakyatlah yang senantiasa terjerat pidana pemilu," ungkap Karim.
"Bukan institusi/aktor politik. Artinya, edukasi politik demokratis dalam makna komprehensif berfungsi utk menyelamatkan rakyat dari jerat pidana pemilu," sambungnya.
Selanjutnya kata Karim, Bawaslu harus menyusun kajian tentang kondisi politik lokal yang berkembang dan dirilis secara periodik.
Kajian yang dimaksud berbentuk, pertama; analisis fakta politik dan respon/sikap Bawaslu terhadap fakta politik itu.
"Kajian ini berfungsi sebagai cara Bawaslu mengenal kembali induknya. Maka politik adalah titik tolak, hukum adalah titik langkah dalam pengawasan," terang aktivis Sekolah Demokrasi ini.
"Kemudian, sebagai ransum bagi publik dan stakeholder demokrasi dalam menilai fakta politik yang berkembang. Sebab sebelum memilih, publik sebaiknya menilai dahulu," lanjutnya.
Lalu, ketika terjadi persengketaan pemilu atau pilkada kata Karim, kajian ini berguna sebagai optik publik dalam menilai substansi sengketa.
Kedua, Bawaslu perlu mengembangkan survey potensi pelanggaran pemilu/pilkada yg disajikan ke publik secara periodik.
Survei ini selain untuk mengimbangi laju survey kontestan yg cenderung manipulatif—hegemonik, juga diharapkan sbg "rem" pengendali bagi publik—aktor politik dalam merencanakan atau menjalankan kecurangan.
Atau survey potensi pelanggaran ini bisa dijadikan alat "konfirmatif" bagi publik terhadap survey-survey politik yang menjamur saat tahapan berlangsung.
Selama ini, lanjut Karim, agenda pengawasan dikelolah dengan paradigma tak relevan dengan kebutuhan.
"Boleh dibilang, krisis paradigmatik. Ini problem serius," ucapnya.
Agenda pengawasan yang dikelolah denhan paradigma "birokrasi kaffah" berdampak pada kerja-kerja pengawasan menyerupai kerja-kerja dinas.
"Bawaslu harus merevisi itu dan membangun inovasi dalam memulai pekerjannya dengan membangun paradigma yang relevan," jelasnya.
Salah satunya dengan paradigma “Asumsi”.
Asumsi kata Karim, adalah dugaan yang diterima sebagai dasar atau landasan berpikir yang dianggap benar.
Asumsi juga bisa diartikan sebagai keyakinan yang tak perlu diteliti.
Asumsi berbeda dengan opini, karena asumsi lebih bisa dibuktikan, sedangkan opini hanya sebatas pandangan subjektif seseorang.
"Asumsi memiliki beberapa fungsi, di antaranya; sebagai andaian terhadap objek empiris untuk memperoleh pengetahuan atau kenyataan," terang Karim.
"Sebagai landasan berpikir dan bekerja. Sebagai kesimpulan yang bisa dipengaruhi oleh data yang mendukung," sambungnya.
Adapun asumsi yang perlu dikembangkan Bawaslu kata Karim adalah "Asumsi Kecurigaan".
"Ini harus menjadi paradigma pengawasan di Bawaslu," tuturnya.
| Pemerintah Atur Pemindahan Guru ASN ke Sekolah Swasta, Sosialisasi di Makassar |
|
|---|
| Siswa Maestoso Music Makassar Tampil Memukau di Konser Mozart Juveniles 2025 |
|
|---|
| Menuju Era 5.0, Bawaslu Luwu Dorong Pengawasan Berbasis Digital dan Literasi Politik |
|
|---|
| Buruh KIBA Kalah Gugatan, Praktik Kerja 12 Jam Dianggap Sah oleh Hakim |
|
|---|
| Pesta Rakyat Honda di MCN 2025: Kolaborasi Kuliner, Musik, dan Kreativitas Anak Muda |
|
|---|

Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.