Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

HLSC Unhas Soroti RUU Penyiaran: Jurnalisme Investigasi Terancam

Revisi UU penyiaran dinilai patut diwaspadai karena berpotensi mengekang kebebasan pers. 

Penulis: Siti Aminah | Editor: Sudirman
TRIBUN-TIMUR.COM / SITI AMINAH
RUU -  Pendampingan Grand Issu Kebebasan Berekspresi oleh Unit Kegiatan Mahasiswa Hasanuddin Law Study Center (HLSC) Universitas Hasanuddin. Revisi UU penyiaran dinilai patut diwaspadai karena berpotensi mengekang kebebasan pers.  

Ia menilai, penayangan liputan investigasi juga diatur dalam RUU tersebut. 

Ini justru sangat ganjal, sebab jurnalistik investigsi adalah jantungnya produk pers. 

"Pasal tentang jurnalistik investigasi itu jelas membungkam kebebasan paling intim dalam jurnalisme, jangan sampai itu dirampas," tegasnya 

Pasal ini dianggap berpotensi membungkam fungsi kontrol pers dan membatasi ruang jurnalis untuk mengungkap fakta-fakta yang penting bagi publik.

Selain itu, sejumlah pasal yang mengatur larangan konten berisi pencemaran nama baik, penghinaan, berita bohong, hingga penodaan agama juga diprotes.

Rumusan yang kabur dinilai bisa menjadi pasal karet, yang rawan disalahgunakan untuk menekan media maupun membatasi kebebasan berekspresi. 

Belum lagi kewenangan baru Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) untuk menyelesaikan sengketa jurnalistik penyiaran. 

Ketentuan ini dikhawatirkan tumpang tindih dengan peran Dewan Pers.

"Kita lihat ada perebutan kekuasan disini, KPI mengatur apa, Dewan Pers mengatur apa," ujarnya. 

Wakil Pemimpin Redaksi Tribun Timur, AS Kambie juga menyampaikan, revisi UU penyiaran ini menjadi ancaman bagi industri media. 

Sebagai insan pers, media dan awaknya butuh perlindungan dari pemerintah, jangan sampai RUU ini justru mencelakai kerja-kerja jurnalis. 

"Aturan undang-undang pasti membatasi, sebagai wartawan saat pemerintah mengumumkan akan merevisi RUU penyiaran, ini sudah pasti ancaman baru, karena akan membatasi kerja-kerja kami," ungkap As Kambie. 

Sementara, Komisioner KPID Sulsel Irwan Ade Saputra merunutkan perjalanan revisi undang-undang ini. 

Sejak diberlakukan pada tahun 2002, undang-undang tentang Penyiaran dianggap sudah tidak sesuai dengan perkembangan zaman. 

Teknologi media dan komunikasi tumbuh pesat karenanya butuh penyesuaian. 

Televisi analog mulai bergeser, platform digital muncul, user generated content makin marak, hingga media sosial jadi bagian besar dari arus informasi. 

Semua itu memunculkan kebutuhan akan regulasi yang lebih mutakhir dan lebih mencakup semua bentuk penyiaran. (*). 

 

 

 

Sumber: Tribun Timur
Halaman 2/2
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved