Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

HLSC Unhas Soroti RUU Penyiaran: Jurnalisme Investigasi Terancam

Revisi UU penyiaran dinilai patut diwaspadai karena berpotensi mengekang kebebasan pers. 

Penulis: Siti Aminah | Editor: Sudirman
TRIBUN-TIMUR.COM / SITI AMINAH
RUU -  Pendampingan Grand Issu Kebebasan Berekspresi oleh Unit Kegiatan Mahasiswa Hasanuddin Law Study Center (HLSC) Universitas Hasanuddin. Revisi UU penyiaran dinilai patut diwaspadai karena berpotensi mengekang kebebasan pers.  

TRIBUN-TIMUR.COM, MAKASSAR - Revisi Undang-undang Nomor 32 tahun 2002 tentang Penyiaran menarik perhatian Unit Kegiatan Mahasiswa Hasanuddin Law Study Center (HLSC) Universitas Hasanuddin. 

Revisi UU penyiaran dinilai patut diwaspadai karena berpotensi mengekang kebebasan pers. 

HLSC Unhas mengangkat tema tersebut sebagai pendampingan grand issu. 

Diskusi pendampingan grand issu di Lt 4 Kantor Tribun Timur, Jl Cendrawasih, No 430, Kecamatan Mamajang Makassar, Sabtu (20/9/2025). 

Diskusi ini menghadirkan tiga narasumber, Komisioner KPID Sulsel Irwan Ade Saputra, akademisi Unhas Fajlurrahman Jurdi, dan Wakil Pemimpin Redaksi Tribun Timur As Kambie. 

Baca juga: Pemkot Makassar KPID Sulsel Perkuat Benteng Penyiaran di Era Digital

Ketua Panitia, Ghinaya Tholi'ah Damara menyampaikan, kebebasan berekspresi adalah hak dasar warga negara. 

Kebebasan berekspresi juga mencakup kebebasan dalam penyiaran.

Kini pemerintah Indonesia mengusulkan RUU Penyiaran. 

Namun, RUU tersebut menuai pro dan kontra.

RUU penyiaran dianggap berpotensi membatasi kebebasan berekspresi melalui regulasi yang ketat. 

Misalnya pengawasan konten dan pembatasan isi siaran. 

"Setelah kami dalami melalui berbagai kajian, diskusi dan wawancara, ternyata memang ada pelanggaran kebebasan berekspresi dengan adanya RUU penyiaran ini," ucap Ghinaya Tholi'ah. 

Kritik paling besar kata Ghina tentang larangan penayangan jurnalistik investigasi. 

Ketimpangan kewenangan antara KPI dsn Dewan Pers juga menjadi perbincangan. 

Praktisi Hukum Universitas Hasanuddin, Fajlurrahman Jurdi, menyampaikan, dalam bayangannya, ini adalah bentuk pembungkaman suara publik. 

Ia menilai, penayangan liputan investigasi juga diatur dalam RUU tersebut. 

Ini justru sangat ganjal, sebab jurnalistik investigsi adalah jantungnya produk pers. 

"Pasal tentang jurnalistik investigasi itu jelas membungkam kebebasan paling intim dalam jurnalisme, jangan sampai itu dirampas," tegasnya 

Pasal ini dianggap berpotensi membungkam fungsi kontrol pers dan membatasi ruang jurnalis untuk mengungkap fakta-fakta yang penting bagi publik.

Selain itu, sejumlah pasal yang mengatur larangan konten berisi pencemaran nama baik, penghinaan, berita bohong, hingga penodaan agama juga diprotes.

Rumusan yang kabur dinilai bisa menjadi pasal karet, yang rawan disalahgunakan untuk menekan media maupun membatasi kebebasan berekspresi. 

Belum lagi kewenangan baru Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) untuk menyelesaikan sengketa jurnalistik penyiaran. 

Ketentuan ini dikhawatirkan tumpang tindih dengan peran Dewan Pers.

"Kita lihat ada perebutan kekuasan disini, KPI mengatur apa, Dewan Pers mengatur apa," ujarnya. 

Wakil Pemimpin Redaksi Tribun Timur, AS Kambie juga menyampaikan, revisi UU penyiaran ini menjadi ancaman bagi industri media. 

Sebagai insan pers, media dan awaknya butuh perlindungan dari pemerintah, jangan sampai RUU ini justru mencelakai kerja-kerja jurnalis. 

"Aturan undang-undang pasti membatasi, sebagai wartawan saat pemerintah mengumumkan akan merevisi RUU penyiaran, ini sudah pasti ancaman baru, karena akan membatasi kerja-kerja kami," ungkap As Kambie. 

Sementara, Komisioner KPID Sulsel Irwan Ade Saputra merunutkan perjalanan revisi undang-undang ini. 

Sejak diberlakukan pada tahun 2002, undang-undang tentang Penyiaran dianggap sudah tidak sesuai dengan perkembangan zaman. 

Teknologi media dan komunikasi tumbuh pesat karenanya butuh penyesuaian. 

Televisi analog mulai bergeser, platform digital muncul, user generated content makin marak, hingga media sosial jadi bagian besar dari arus informasi. 

Semua itu memunculkan kebutuhan akan regulasi yang lebih mutakhir dan lebih mencakup semua bentuk penyiaran. (*). 

 

 

 

Sumber: Tribun Timur
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved