DPRD Makassar Dibakar
Demonstrasi Berujung Pembakaran 2 Kantor Parlemen, Sosiolog Unhas: Akumulasi Kekecewaan Masyarakat
Namun, situasi berubah mencekam. Pos Polisi, Kantor DPRD Kota Makassar dan Kantor DPRD Provinsi Sulsel dibakar.
Penulis: Kaswadi Anwar | Editor: Saldy Irawan
TRIBUN-TIMUR.COM, MAKASSAR – Demonstrasi berujung pembakaran objek vital pemerintah terjadi di Kota Makassar, Sulawesi Selatan (Sulsel) pada Jumat (29/8/2025) malam.
Awalnya, pengunjuk rasa protes kenaikan tunjangan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan meninggalnya seorang pengemudi ojek online Affan Kurniawan karena dilindas mobil baracuda Brimob.
Namun, situasi berubah mencekam. Pos Polisi, Kantor DPRD Kota Makassar dan Kantor DPRD Provinsi Sulsel dibakar.
Memilukannya, tiga orang tewas di Kantor Parlemen Makassar saat berusaha menyelamatkan diri.
Sosiolog Universitas Hasanuddin (Unhas) Rahmat Muhammad menilai demonstrasi berujung pembakaran ini akumulasi kekecewaan masyarakat terhadap kebijakan pemerintah dan DPR yang tak berpihak.
Menurutnya, masalah yang ada sebenarnya bisa dipahami masyarakat sepanjang dikomunikasikan dengan baik.
Namun, pemerintah justru meresponnya dengan kurang empati.
Pernyataan dikeluarkan sering blunder di tengah banyaknya masalah dihadapi masyarakat.
Misalnya, menaikan pajak kepada warga, di saat bersamaan gaji anggota DPR juga dinaikkan.
Kemudian respon ditunjukkan seolah-olah tak ada kepedulian dengan asyik berjoget.
Ada pula pejabat menyatakan masyarakat yang demo itu tolol.
Di lain sisi, pemerintah selalu mengklaim membantu masyarakat, tapi justru jadi beban masyarakat.
“Jadi hal-hal yang paradoks, seperti itu sebenarnya diam-diam menjadi puncak gunung es bagi masyarakat,” tuturnya saat dihubungi Tribun-Timur.com, Sabtu (30/8/2025).
Kepala Program Studi (Prodi) Doktoral Sosiologi Unhas ini menyebut, pejabat, khususnya anggota parlemen tak memahami sebenarnya kondisi di masyarakat.
Ada ketimpangan yang jauh. Makanya, orang berpikir wakil rakyat ini mewakili siapa dan rakyat yang mana.
Masyarakat merasakan beban hidup harus ditanggung, ditekan hingga diancam.
Lalu kepolisian turut dibenturkan dengan kelompok massa, baik itu mahasiswa dan masyarakat umum.
Demonstran membawa aspirasi masyarakat, sedangkan kepolisian bertugas melindungi aset dan objek vital.
Benturan kadang tak terhindarkan ketika sudah emosi. Makanya, perlu pencegahan.
Caranya pemerintah jangan terlalu mudah mengeluarkan pernyataan atau mengambil kebijakan yang tidak berpihak ke masyarakat.
“Dengan mudah mengeluarkan pernyataan-pernyataan yang kontra produktif, tidak peduli, seolah-olah dianggap itu canda, padahal masyarakat sekarang lagi susah, terlalu banyak beban hidup,” katanya.
Rahmat Muhammad menyampaikan, demonstrasi gambarkan krisis kepercayaan publik terhadap pemerintah dan DPR.
Jika kondisi ini terus berlanjut, maka legitimasi pemerintah dan lembaga perwakilan rakyat akan semakin melemah di mata publik.
Olehnya itu, ia menekankan agar kebijakan dibuat pemerintah memperhatikan masyarakat banyak.
“Diperlukan perubahan mendasar dalam pola kepemimpinan serta keberanian merumuskan kebijakan yang benar-benar berpihak pada masyarakat luas,” papar dosen berusia 55 tahun itu.
Jaga Kedamaian
Rahmat Muhammad mendorong pertemuan tokoh-tokoh di Sulsel untuk menjaga kondusivitas keamanan dan ketertiban.
Mereka harus duduk bersama dengan pemerintah untuk mencari solusi terkait masalah yang terjadi.
“Semua tokoh-tokoh entah tokoh nasional atau tokoh lokal ya ambil inisiatif untuk duduk bersama. Kita di Orang Bugis Makassar itu tudang sipulung,” ucapnya.
Dari pertemuan itu, mencoba memetakan apa yang sebenarnya terjadi. Supaya isunya tidak menjadi liar dan tumpang tindih.
Kalau pun penyebabnya kebijakan pemerintah yang tak berpihak ke masyarakat, maka pemerintah harus menahan diri,
“Pemerintah melihat kepentingan yang lebih besar,” tambahnya.
Pria kelahiran Parepare ini juga meminta pejabat public tak mengeluarkan pernyataan bertentangan dan menciderai masyarakat.
Sebab, masyarakat saat ini susah ditambah pulang dengan ketidakpedulian dari pemerintah.
“Kalau orang Bugis-Makassar itu, jangan kapau-pau (jangan asal ngomong), jangan asal berperilaku aneh-aneh karena orang lagi susah,” tandasnya.
Polisi Tak Kawal Demo
Aksi demonstrasi berujung anarkis di Kota Makassar Jumat kemarin tanpa pengawalan polisi.
Hanya tentara diturunkan menjaga objek vital pemerintah.
Rahmat Muhammad memaklumi sementara ketidakhadiran polisi mengawal aksi.
Alasannya, beredar isu antipati kepada Korp Bhayangkara tersebut.
Khawatirnya, jangan sampai polisi turun ke lapangan, tapi masyarakat tidak menerima dan menimbulkan masalah baru.
Ia mengatakan, kebijakan pimpinan Polri sudah tepat tak menurunkan anggotanya. Kemudian pengamanan dibantu oleh tentara.
“Jauh lebih besar resikonya dalam keadaan seperti kemarin itu kalau ada polisi. Pelampiasan masyarakat bisa ke polisi,” katanya,
Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Pemerintahan (FISIP) Unhas ini melihat polisi sebenarnya juga menjadi korban.
Dalam artian, mereka punya tugas mengawal aksi. Dilematisnya kalau turun di lapangan disalahkan, ditarik juga dipermasalahkan.
“Orang tidak banyak tahu kalau langkah-langkah itu upaya meminimalisir masalah,” pungkasnya. (*)
Abay Staf Humas DPRD Makassar Gugur saat Selamatkan Rekannya, Dimakamkan di Samping Sang Ayah |
![]() |
---|
Cerita Andi Ina Kartika Sosok Abay Korban Pembakaran Kantor DPRD Makassar |
![]() |
---|
DPRD Makassar-Sulsel Dibakar, Ketua HMI Sulsel: Mana Aparat? |
![]() |
---|
Tujuh Isi Maklumat Rektor Unhas Pasca Kantor DPRD Makassar dan Sulsel Dibakar |
![]() |
---|
Syaiful Akbar Kasi Kesra Meninggal di DPRD Makassar Dimakamkan di Palopo |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.