Kasus Kekerasan Anak dan Perempuan di Luwu Capai 38, DP3A Minta Kolaborasi
DP3A Luwu catat 38 kasus kekerasan anak dan perempuan sepanjang 2025, minta kolaborasi lintas sektor.
Penulis: Muh. Sauki Maulana | Editor: Sukmawati Ibrahim
TRIBUN-TIMUR.COM, LUWU – Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Kabupaten Luwu, Sulawesi Selatan (Sulsel) mencatat 38 kasus kekerasan terhadap anak dan perempuan sepanjang Januari–September 2025.
Data tersebut tercatat dalam Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (Simfoni PPA) terhubung di 24 kabupaten/kota se-Sulawesi Selatan.
Kepala DP3A Luwu, St Hidayah Mande, merinci lima kasus kekerasan terhadap perempuan: fisik 1 kasus, KDRT 2 kasus, dan seksual 2 kasus.
Sementara pada anak terdapat 33 kasus: fisik 3 kasus, seksual 27 kasus, dan penelantaran 3 kasus.
“Berdasarkan data Simfoni PPA, posisi Luwu kini berada di peringkat enam dari 24 kabupaten/kota di Sulsel. Tahun sebelumnya, Luwu berada di peringkat 17,” ujar Hidayah Mande, Selasa (9/9/2025).
Ia menambahkan, posisi ini masih bisa berubah karena sejumlah daerah belum memperbarui data.
“Update data sering terlambat karena harus lengkap identitas korban, pelaku, dan kronologi kasus. Jadi posisi masih bisa bergeser,” jelasnya.
Meski begitu, Hidayah menekankan pentingnya upaya pencegahan bersama.
“Angka kasus memberi gambaran situasi di lapangan, tapi yang utama adalah bagaimana semua stakeholder berkomitmen melakukan pencegahan kekerasan terhadap anak dan perempuan. DP3A tidak mungkin bekerja sendiri tanpa dukungan lintas sektor dan masyarakat,” tegasnya.
Hidayah mengapresiasi Bupati Luwu, Patahuddin peduli terhadap kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak.
Hal itu ia sampaikan saat menghadiri perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW di Kantor Kementerian Agama Luwu.
"Bagus kemarin pak bupati singgung masalah kekerasan seksual di acara maulid kemarin. Supaya ke depan juga bisa membantu dalam upaya pencegahan terjadinya kekerasan seksual," bebernya.
Menurut Hidayah, keterlibatan Kemenag dapat membantu edukasi lewat pendekatan agama.
"Penyuluh agama di setiap kecamatan bisa kami kerja sama dalam melaksanakan sosialisasi parenting, kekerasan seksual, pola pengasuhan di era digital," akunya.
Ia menegaskan, kemajuan daerah bergantung pada kualitas SDM.
Karena itu, pemuda dan remaja harus diprioritaskan agar menjadi SDM unggul dan berdaya saing.
"Apa jadinya kalau anak-anak kita biarkan dan menjadi korban kekerasan, pasti menjadi anak putus sekolah. Tidak punya cita dan masa depan," terangnya.
"Jadi memang kita harus masif dalam melakukan gerakan pencegahan kekerasan terhadap anak dengan melibatkan semua stakeholder terkait," tambahnya.
Hidayah menyebut, pelaku kekerasan terhadap perempuan dan anak umumnya orang dekat korban.
"Bisa juga dipicu pernikahan dini. Sering sekali kita dapati, karena secara mental belum siap. Memicu masalah sosial lain. Kekerasan, kemiskinan ekstrem, bisa saja juga stunting untuk anaknya," tandasnya.
Baca juga: 6 Bulan 36 Kasus Kekerasan Seksual di Maros, Korban Didominasi Usia di Bawah 18 Tahun
Pernikahan Dini Bisa Picu Kekerasan
Sosiolog Universitas Negeri Makassar (UNM), Idham Irwansyah, menilai maraknya pernikahan dini dipicu kuatnya nilai tradisional menjadikan pernikahan usia muda dianggap lumrah.
“Banyak orang tua yang belum memahami hak-hak anak dan dampak pernikahan dini. Akhirnya, perkawinan anak tetap dipandang sebagai norma sosial,” ujarnya.
Selain budaya, kondisi ekonomi juga mendorong orang tua menikahkan anak lebih cepat.
“Kemiskinan dan keterbatasan membuat pernikahan dini dianggap solusi untuk mengurangi beban keluarga,” jelasnya.
Idham menyebut, pendidikan juga berpengaruh besar.
Anak yang putus sekolah atau berpendidikan rendah lebih rentan dinikahkan muda.
“Rendahnya pendidikan mempersempit wawasan anak, sehingga mereka tidak punya daya tawar terhadap keputusan keluarga,” katanya.
Perkembangan teknologi digital turut menjadi tantangan.
Akses internet tanpa pengawasan membuat anak rawan terjerumus dalam pergaulan bebas.
“Apalagi dengan keterbukaan media sosial, risiko semakin tinggi. Jika terjadi kehamilan di luar nikah, maka pernikahan sering dijadikan jalan keluar karena dianggap aib bagi keluarga,” tutur Idham.
Menurutnya, menekan angka pernikahan dini butuh pendekatan komprehensif.
“Tidak cukup hanya regulasi, tapi juga edukasi ke masyarakat, penguatan ekonomi keluarga, serta keterlibatan tokoh adat dan agama dalam mengubah cara pandang,” tegasnya.
Rincian Kasus Kekerasan di Luwu
2023
Perempuan:
Fisik: 7 kasus
KDRT: 16 kasus
Seksual: 15 kasus
Anak:
Fisik: 10 kasus
Psikis: 3 kasus
Seksual: 37 kasus
Penelantaran: 2 kasus
2024
Perempuan:
KDRT: 1 kasus
Seksual: 2 kasus
Anak:
Psikis: 1 kasus
Seksual: 18 kasus
Penelantaran: 3 kasus
Lainnya: 5 kasus
2025
Perempuan:
Fisik: 1 kasus
KDRT: 2 kasus
Seksual: 2 kasus
Anak:
Fisik: 3 kasus
Seksual: 27 kasus
Penelantaran: 3 kasus. (*)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.