Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Guru Dipecat

Ketua Dewan Pendidikan Sulsel Dukung Permohonan Grasi Dua Guru Luwu Utara ke Prabowo Subianto

Langkah kedua guru yang mengumpulkan iuran sukarela untuk membantu 10 rekan honorernya yang belum digaji adalah murni tindakan solidaritas.

|
Penulis: Muh. Sauki Maulana | Editor: Sudirman
Ist
GURU LUTRA DI PTDH - Kolase foto dua guru ASN Kabupaten Luwu Utara, Sulawesi Selatan diberhentikan tidak hormat. Dua guru itu ialah Rasnal dari UPT SMAN 3 Luwu Utara, dan Abdul Muis dari UPT SMAN 1 Luwu Utara (Kiri) dan Ketua Dewan Pendidikan Sulsel, Prof Arismunandar (kanan). Ia mendukung permohonan grasi kedua guru tersebur ke Presiden Prabowo Subianto. 
Ringkasan Berita:
  • Dewan Pendidikan Sulawesi Selatan menyatakan keprihatinan atas pemecatan dua guru di Luwu Utara, Rasnal (SMAN 3) dan Abdul Muis (SMAN 1), yang dikriminalisasi karena mengumpulkan iuran sukarela membantu rekan honorernya.
  • Prof. Arismunandar menegaskan tindakan mereka adalah solidaritas dan mendukung pengajuan grasi ke Presiden, dengan syarat dilengkapi bukti tidak ada kerugian negara. 
  • Dewan Pendidikan mendorong PGRI Sulsel memberikan pendampingan hukum, namun tidak turun tangan langsung.

TRIBUN-TIMUR.COM, LUWU UTARA -  Dewan Pendidikan Sulawesi Selatan (Sulsel), Prof Arismunandar, mengaku prihatin kasus pemecatan menimpa dua guru di Luwu Utara.

Dua guru itu ialah Rasnal dari UPT SMAN 3 Luwu Utara, dan Abdul Muis dari UPT SMAN 1 Luwu Utara.

Tak sepatutnya kedua guru mendapatkan sanksi yang bersifat kriminalisasi.

Langkah kedua guru yang mengumpulkan iuran sukarela untuk membantu 10 rekan honorernya yang belum digaji adalah murni tindakan solidaritas.

"Dewan Pendidikan Sulsel prihatin dengan kejadian tersebut. Guru tidak seharusnya dikriminalisasi karena bertujuan mulia," ujarnya kepada Tribun-Timur.com, Sabtu (8/11/2025).

Baca juga: PGRI Sulsel Rapat Mendadak Kawal Kasus Pemecatan 2 Guru di Luwu Utara 8 Bulan Jelang Pensiun

Namun pihaknya tidak akan turun tangan secara langsung untuk menangani kasus ini.

Ia lebih mendorong organisasi profesi, Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Sulawesi Selatan

Ia meminta, agar PGRI Sulsel mengambil peran sentral dalam memberikan perlindungan dan bantuan hukum.

"Dewan Pendidikan tidak turun langsung, namun mendorong PGRI Sulsel untuk melakukan pendampingan," jelas Guru Besar Besar Bidang Manajemen Pendidikan itu.

Arismunandar mengaku, PGRI Sulsel telah bergerak aktif merespons kasus yang menarik perhatian publik tersebut.

"Belum ada komunikasi langsung (dengan Ketua PGRI Sulsel), tapi (kami tahu) PGRI aktif melakukan pertemuan terkait kasus ini," ungkapnya.

Syarat Kunci Pengajuan Grasi

Mengenai langkah yang ditempuh para guru dan serikatnya untuk mencari keadilan, Arismunandar mendukung upaya pengajuan grasi atau pengampunan ke Presiden Prabowo Subianto.

Menurutnya, langkah tersebut sudah tepat untuk ditempuh.

Namun, ia memberikan catatan krusial agar upaya tersebut memiliki peluang besar untuk berhasil.

Pengajuan grasi tersebut wajib didukung dengan bukti-bukti yang kuat.

Dokumen pendukung yang paling vital, menurutnya, adalah bukti yang dapat menunjukkan tidak ada kerugian negara yang ditimbulkan dari pengumpulan iuran sukarela sebesar Rp 20 ribu tersebut.

"Tapi tentu harus disertakan dokumen pendukung yang menunjukkan tidak adanya kerugian negara dalam kasus ini," pungkasnya.

Ketua PGRI Sulsel Rapat Mendadak

Ketua PGRI Sulsel, Prof Hasnawi Haris, menegaskan organisasi profesi guru tidak pernah lepas tangan.

PGRI secara konsisten mengawal kasus ini sejak bergulir di pengadilan tingkat pertama.

"Dari awal kami (PGRI) sejak di Pengadilan Negeri (PN)," tegasnya kepada Tribun-Timur.com, Sabtu (8/11/2025).

Ia menambahkan, PGRI Sulsel telah mengambil langkah organisasi untuk menentukan sikap dan strategi advokasi lanjutan.

"Siang ini kami rapat pleno untuk tindak lanjut," ujarn Guru Besar UNM itu.

Dukungan politik yang kuat datang dari legislatif.

Wakil Ketua DPRD Luwu Utara, Karemuddin, menyebut sanksi PTDH ini adalah pukulan ganda yang tidak proporsional.

Menurutnya, kedua guru tersebut telah menuntaskan proses hukum mereka.

Menjatuhkan sanksi administratif pemecatan setelah hukuman dijalani ia  ibaratkan seperti "sudah jatuh tertimpa tangga pula".

"Terkait penyalahgunaan wewenang dan kesalahan itu sudah selesai dan sudah dijalani. Yang kami mohonkan, jangan di PTDH-kan, mengingat jasa guru puluhan tahun mendidik," bebernya.

Kata Karemuddin, penegakan hukum harus diimbangi dengan rasa keadilan.

Ia berpandangan, setelah para guru menjalani proses hukum, nama baik mereka semestinya dipulihkan sebagai bentuk penghargaan terhadap profesi pendidik.

"Hukum harus tegak, tetapi rasa keadilan jangan hilang," tegasnya.

Fakta paling krusial yang menjadi dasar permohonan keadilan ini adalah aspek kemanusiaan.

Karemuddin mengungkap, pengabdian salah satu guru tersebut akan segera berakhir dalam hitungan bulan.

"Saatnya memaafkan dengan pertimbangan hargai pengabdian yang tinggal 8 bulan lagi pensiun," ungkapnya.

Aspek inilah yang didorong PGRI dan DPRD sebagai pertimbangan utama bagi Presiden.

Menurut legislator Partai PAN itu, hukuman sosial, moral, dan psikologis yang telah mereka jalani dinilai sudah lebih dari cukup.

Ia membenarkan, DPRD Lutra telah bertindak konkret dengan pengajuan grasi.

"Kami mendukung pengajuan grasi ke Presiden Prabowo Subianto. Dan kami sudah tanda tangan juga surat itu bersama PGRI," ungkapnya.

Sementara itu, Kepala Dinas Pendidikan Sulsel, Iqbal Nadjamuddin belum merespon konfirmasi yang dilayangkan Tribun-Timur.

Kronologi hingga Guru Dilaporkan LSM

Sebelumnya, akun Facebook bernama NR Daeng menulis kronologi kasus ini.

Persoalan berawal lima tahun lalu saat Kepala SMAN 1 Luwu Utara yang baru dilantik menerima aduan dari sepuluh guru honorer yang belum menerima gaji selama sepuluh bulan.

Nama mereka belum terdaftar dalam Dapodik, syarat pencairan dana BOS.

“Mendapati aduan itu, kepala sekolah mengambil inisiatif dengan melakukan pertemuan dengan Komite Sekolah,” tulis NR Daeng.

Dari pertemuan tersebut disepakati urunan sukarela Rp20 ribu per orang tua siswa.

Bagi keluarga yang memiliki dua anak hanya membayar sekali, sedangkan yang kurang mampu tidak diwajibkan berpartisipasi.

Namun, kesepakatan tersebut berujung masalah setelah dilaporkan oleh sebuah LSM ke kepolisian.

Empat guru diperiksa, dua di antaranya ditetapkan sebagai tersangka.

Berkas sempat dikembalikan kejaksaan karena tidak ditemukan unsur pidana, tetapi penyidikan dilanjutkan dengan melibatkan Inspektorat Luwu Utara, yang kemudian menyimpulkan adanya kerugian negara.

Kasus berlanjut ke Pengadilan Makassar.

Kedua guru sempat divonis bebas.

Namun setelah jaksa mengajukan kasasi, Mahkamah Agung memutus keduanya bersalah dan menjatuhkan hukuman satu tahun penjara.

Usai menjalani hukuman, keduanya menerima keputusan baru yang tak kalah berat yakni Pemberhentian Tidak Dengan Hormat (PTDH) oleh Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan melalui nota dinas berjenjang dari Kacab Disdik Wilayah 12 hingga BKD Provinsi.

Ketua PGRI Luwu Utara, Ismaruddin, menyatakan pihaknya telah mengirim surat resmi permohonan grasi kepada Presiden pada 4 November 2025.

“Kami memohon kepada Bapak Presiden agar berkenan memberikan grasi kepada dua anggota kami yang telah puluhan tahun mengabdi sebagai pendidik. Mereka layak mendapat pertimbangan kemanusiaan dan keadilan,” ujar Ismaruddin, Sabtu (8/11/2025).

Ia menilai, meski keduanya sudah menjalani hukuman, keputusan PTDH menjadi pukulan berat bagi mereka dan keluarga.

“Kami menghormati keputusan hukum, namun sebagai organisasi profesi, PGRI juga punya tanggung jawab moral memperjuangkan martabat guru. Mereka bukan hanya pelaku, tetapi juga korban dari sistem yang perlu diperbaiki,” jelasnya.

Surat bernomor 099/Permhn/PK-LU/2025-2030/2025 itu juga ditembuskan ke Ketua DPR RI, Gubernur Sulsel, Bupati dan DPRD Luwu Utara, serta Pengurus Besar PGRI di Jakarta.

“Kami berharap langkah ini membuka ruang dialog dan pertimbangan yang lebih luas. Guru yang mengabdikan hidupnya untuk pendidikan seharusnya tetap dihargai, bahkan ketika menghadapi masalah hukum,” tambahnya.

Ia menegaskan, permohonan grasi dan peninjauan kembali (PK) bukan bentuk penolakan terhadap keputusan pengadilan, melainkan upaya mencari keadilan berimbang dengan mempertimbangkan sisi kemanusiaan dan pengabdian.

“Keputusan hukum harus dihormati, tetapi keadilan sejati juga harus memberi ruang bagi perbaikan diri,” ujarnya.

PGRI Luwu Utara juga mendorong upaya PK dengan harapan muncul bukti baru (novum) yang dapat meringankan.

“Kami mendukung langkah hukum yang sah. Semoga ada bukti atau fakta baru yang dapat dipertimbangkan pengadilan,” harapnya.

Ismaruddin menutup dengan menyerukan agar seluruh anggota PGRI tetap menjunjung tinggi etika profesi, disiplin, dan integritas, sembari berharap Presiden memberi perhatian terhadap permohonan tersebut.

“Kami yakin Bapak Presiden memahami beratnya tanggung jawab seorang guru. Kami berharap keputusan terbaik dapat diberikan demi keadilan, kemanusiaan, dan penghargaan terhadap jasa para pendidik,” tutupnya.

Laporan Jurnalis Tribun-Timur.com, Muh Sauki Maulana

 

 

Sumber: Tribun Timur
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved