Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

opini Dahlan Abubakar

Ramang Tak Pernah Mati  

Ramang lahir sebagai pemain alam. Dia berlatih tanpa ada yang menyuruh dan memerintah. Dia berlatih atas kesadaran sendiri.

|
Editor: AS Kambie
M Dahlan Abubakar
PENULIS RAMANG - M Dahlan Abubakar, Wartawan Senior yang menulis buku tentang Ramang. Dahlan Abubakar beberapa kali wawancara langsung dengan Ramang di Makassar. 

Oleh: MDahlan Abubakar
Penulis Buku Ramang Macan Bola

TRIBUN-TIMUR.COM - Hari Senin, 25 Agustus 2025, saya dikejutkan oleh informasi dari rekan AS Kambie yang mengabarkan bahwa Ramang memperoleh tanda jasa dan anugerah Bingang Jasa Nararya  dari Presiden Prabowo Subianto. Kambie kemudian meminta salah seorang wartawannya mewawancarai saya perihal Ramang tersebut.

Saya kemudian menyampaikan kepada wartawan tersebut, nanti saya menulis khusus tentang Ramang yang memperoleh penganugerahan tanda penghargaan Bintang Mahaputra Adipurna tersebut.   

Bintang Jasa Nararya merupakan penghargaan kelas 1 dari tanda kehormatan Bintang Mahaputra. Kelas ini merupakan level tertinggi dari Bintang Mahaputra dan diberikan kepada mereka yang secara luar biasa menjaga keutuhan, kelangsungan, dan kejayaan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Penghargaan yang diberikan sejak 1959 (Soekarno menerima penghargaan ini) dianugerahkan secara langsung kepada Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia. Oleh sebab itu, semua Presiden dan Wakil Presiden RI memperoleh tanda jasa dan tanda kehormatan ini. Mereka yang memperoleh tanda jasa ini, termasuk Bintang Mahaputra kelas yang lainnya, berhak dimakamkan di Taman Makam Pahlawan.

 Orang asing yang memperoleh Bintang Mahaputra Adipurna adalah Abd Halim dari Kedah, Timbalan Yang Dipertuan Agong Malaysia (1970),  Rabu Beatrix (Belanda), Imelda Marcos (1968), Lee Soon-ja, Ibu Negara Korea Selatan (1981), Saleha, Raja/Istri Raja Brunei Darussalam, Shoda Michiko, Putri Mahkota Jepang (1962), Willem Alexander (Raja Belanda), dan Yasuhiro Nakasone, PM Jepang (1983).

Pernah suatu waktu, usai menulis buku “ Ramang Macan Bola ” (2011) dan diluncurkan di Wisma Kemenpora Jakarta, 9 Agustus 2011, saya berpikir, sejatinya pemerintah juga memberikan gelar pahlawan atau tanda penghargaan kepada mereka yang telah mengharumkan nama bangsa dan negara ini di bidang olahraga.

Mimpi saya itu muncul setelah mendengar sejumlah testimoni mereka yang pernah berinteraksi dengan Ramang  dalam acara peluncuran buku di era Andi Alifian Mallarangeng menjabat Menpora itu.

“Pemerintah sebenarnya tidak adil. Mengapa mereka yang berjuang melawan penjajah dan merebut kemerdekaan saja yang memperoleh predikat pahlawan dan memperoleh tanda jasa dan tanda kehormatan. Bukankah Ramang telah berjuang membela nama bangsa dan negara Indonesia melalui lapangan sepak bola?,” saya membatin.

 Hingga sekarang ini, keberhasilan tim nasional Indonesia memaksa kesebelasan raksasa Uni Soviet (kemudian sebagai juara olimpiade) bermain 0-0 jadi monumen prestasius sepak bola Indonesa. Pada pertandingan pertama dan diperkuat kiper kelas dunia Lev Jasin pada Olimpiade Melbourne 1956 selalu menjadi rujukan banyak orang terhadap prestasi sepak bola Indonesia yang cemerlang. Dan, nama Ramang dipuji oleh organisasi sepak bola dunia, FIFA, dalam tulisannya yang menghentak republik ini pada tanggal 26 September 2012.

Tulisan yang dimuat pada laman  FIFA.com itu menempatkan Ramang sebagai inspirator sepak bola Indonesia era 1950-an. Inilah untuk pertama kalinya organisasi sekelas FIFA memuji seorang pesepak bola Indonesia dan itu baru Ramang.  
 
Ramang tetap hidup

 Meskipun tidak sempat menyaksikan langsung pertandingan yang dilakoni Ramang, namun namanya sudah kondang di benak saya melalui siaran RRI Nusantara IV Makassar yang menyiarkan langsung pertandingan PSM yang dia perkuat. Ketika menjadi warftawan Harian “Pedoman Rakyat” (sejak 1976), saya tercatat dua kali secara khusus menyambangi kediaman Ramang di Jl. Andi Mappanyukki Makassar (di belakang showroom mobil sekarang). 

Kesempatan pertama saya datang hendak mewawancarainya. Mengetahui saya hendak mewawancarainya, Ramang langsung menolak. 

“Jangan mi saya diwawancarai, toa mi (a),” ujarnya pendek.

Mendengar ucapannya itu, boleh jadi, ucapannya itulah yang terus hidup hingga sekarang dengan ikon “ toa mi Ramang ”. Saya tak berusaha lagi membujuknya agar mau menerima saya mewawancarainya karena pernah membaca sebelumnya, seorang wartawan majalah terkenal di Jakarta hendak mewawancarainya  juga dia tolak. 

Halaman
12
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved