opini Dahlan Abubakar
Ramang Tak Pernah Mati
Ramang lahir sebagai pemain alam. Dia berlatih tanpa ada yang menyuruh dan memerintah. Dia berlatih atas kesadaran sendiri.
Kesempatan kedua, saya hanya ingin memotretnya. Ramang pun pada awalnya menolak dengan alasan sudah banyak fotonya dijepret para wartawan. Saya pun beralasan bahwa foto-foto yang pernah diambil itu sudah lama, sudah terhitung belasan tahun, bahkan puluhan tahun, sehingga tidak ada lagi di arsip. Ramang yang dilahirkan di Barru 26 April 1924 dan meninggal di Makassar 26 September 1987 itu akhirnya bersedia difoto.
Setelah memotretnya, saya tidak langsung kembali ke kantor yang berjarak 150m dari kediaman Ramang. Saya pun duduk bareng di dekat pintu rumahnya dan mulai “berngalor ngidul” tentang sepak bola.
Kebetulan juga waktu itu, di Stadion Mattoanging, PSM Junior sedang berlatih dan dipersiapkan mengikuti Turnaman Piala Suratin di Solo. Saya pun mengajak berbincang-bincang dengan “bahasa yang baik” (bahasa yang sesuai situasi dan kondisi) bercampur aduk dengan bahasa Makassar, bertanya tentang prospek para pemain junior.
Dalam percakapan santai (yang sebenarnya sudah mewawancarainya), Ramang bercerita lancar bahwa mereka masih memerlukan waktu lama untuk menjadi pemain yang berprestasi. Salah satu yang ditekankannya adalah berlatihlah tanpa pelatih. Atas dasar kemauan sendiri. Ucapannya ini kemudian saya sempat konfirmasi kepada Maulwy Saelan, penjaga Indonesia pada saat Olimpiade Melbourne, Australia.
“Ramang tidak pernah dilatih khusus oleh Tony Pogacnik. Dia sudah memiliki format latihannya sendiri secara alamiah,” kata Maulwy Saelan, yang meninggal 10 Oktber 2016 dan saya temui lima tahun sebelum kepergiannya atau tepatnya 10 Januari 2011 pagi di sekolah yang dibinanya di Jakarta Selatan.
Maulwy Saelan selain penjaga gawang Indonesia di Melbourne itu, juga merangkap sebagai kapten tim. Selain memberikan instruksi kepada para pemain, juga secara cermat melihat pergerakan para pemain di lapangan. Dari Pak Maulwy Saelan-lah saya memperoleh informasi perihal peluang emas yang diperoleh Ramang saat berhadapan pemain belakang terakhir Uni Soviet.
“Agar dia (Ramang) tidak bisa lolos membawa bola, kausnya ditarik,” kata Maulwy Saelan. Pada tahun 2012 saya menemukan foto yang sangat spektakuler, saat Ramang berhadapan dengan pemain belakang Uni Soviet di laman FIFA.com. Ramang yang berhadapan dengan gawang berada di sebelah kiri pemain lawan. Pada saat inilah agaknya, kaus (baju) Ramang ditarik, sehingga dia tidak bisa lolos menggiring bola.
Kekaguman FIFA terhadap Ramang melalui lamannya 26 September 2012 tersebut memang banyak bersumber dari kepiawaiannya dalam pertandingan melawan Uni Soviet. FIFA menarasikan bagaimana seorang kiper kelas dunia sekelas Lev Jasin dibuat jatuh bangun oleh Ramang.
Ramang lahir sebagai pemain alam. Dia berlatih tanpa ada yang menyuruh dan memerintah. Dia berlatih atas kesadaran sendiri. Saat pemain PSM berlatih di lapangan Karebosi pukul 16.00, pada pukul 14.00 Ramang sudah puluhan kali mengitari Karebosi.
Dalam hal stamina, yang selalu diingatkan kepada teman satu timnya adalah, kita tidak bermain selama 2 x 45 menit, tetapi 2 x 90 menit. Oleh sebab itu, latihan fisik menjadi porsi terberat yang dia terapkan saat menjad pelatih Palu Putra, Blitar, maupun PSM atau Gasbar Barru. Di Barru, para pemain harus berlatih fisik mulai berlari di pasir di pinggir pantau, hingga melompati pematang sawah dan selokan serta berlari mendaki gunung seoerti diakui oleh M.Arsyad, alm, yang pernah memperkuat Gasbar Barru yang juga masih terhitung keluarga Ramang.
Ramang sendiri berlatih memperkuat kekuatan tendangannya dengan menggunakan karet ban dalam sepeda. Satu ujung ban diikat pada satu tiang kayu dan satu ujung lainnya diikatkan pada betisnya. Mulailah dia menarik kakinya sekuat tenaga sehingga terdengar bunyi “krek..krek..” yang sempat membuah heran anaknya, Anwar Ramang yang melihat model latihan ayahnya.
Ramang sudah 38 tahun meninggalkan kita. Kini namanya hadir di belantara media setelah pemerintah Presiden Prabowo Subianto menganugerahkan tanda jasa dan tanda kehormatan Bintang Mahaputra Adipurna kepadanya bersama Mardi Lestri, pelari jarak pendek Indonesia yang juga pernah mengharumkan nama Indonesia. Jasad Ramang tinggal tulang belulang di Pekuburan Islam Panaikang, tetapI namanya tidak pernah ‘mati’. Dia tetap, Toa mi Ramang! (*).
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.