TRIBUN-TIMUR.COM, BONE - Tumpukan sampah plastik dan kardus berserakan di sepanjang Jalan Ahmad Yani, Watampone, Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan, Rabu (20/8/2025) siang.
Sisa demonstrasi sehari sebelumnya masih tampak jelas.
Botol air mineral bergelinding di trotoar, selebaran tuntutan menempel di aspal, spanduk robek terinjak di halaman Kantor Bupati Bone.
Di tengah pemandangan itu, seorang perempuan lanjut usia mendorong gerobak pelan, matanya menyapu setiap sudut jalan.
Syamsiah, 70 tahun, bukan bagian dari massa aksi.
Baca juga: Kondisi Terkini Kantor Bupati Bone Usai Demo Ricuh Tolak Kenaikan PBB-P2
Ia datang bukan untuk berteriak, melainkan mencari rezeki dari sisa kericuhan.
Tangannya cekatan memungut kardus dan plastik, satu per satu dimasukkan ke dalam gerobak tuanya.
Bagi sebagian orang, itu hanya sampah.
Bagi Syamsiah, itu rupiah.
Baca juga: Demo PBB Berubah Anarkis, Dandim Bone: Ini Bukan Aliansi Rakyat Lagi
Ibu empat anak ini menempuh perjalanan 10 menit dari rumah ke Kantor Bupati Bone. Ia tiba pukul 10.30 Wita.
“Alhamdulillah banyak plastik dan kardus,” kata Syamsiah kepada Tribun-Timur saat memungut sampah, Rabu (20/8/2025).
Ia menuturkan, sampah yang dikumpulkan akan dijual ke pengepul dengan harga Rp3 ribu untuk plastik dan Rp5 ribu untuk kardus.
“Sebentar saya jual ini di pengepul, harga plastik Rp3 ribu kalau kardus Rp5 ribu,” ujarnya.
Syamsiah mengaku senang mendapat penghasilan tambahan dari aksi demonstrasi yang berujung ricuh.
Ia sudah bekerja sebagai pemulung selama 16 tahun.