Tanpa keseriusan artistik, inovasi teknologi, dan pemahaman pasar, proyek semacam ini hanya akan menjadi etalase nasionalisme yang rapuh.
Pierre Bourdieu menyebut fenomena ini sebagai kekerasan simbolik: elit budaya menggunakan sumber daya untuk mendefinisikan representasi nasionalisme, lalu mendorong masyarakat agar menerimanya.
Tetapi di era keterbukaan digital, publik punya standar sendiri.
Mereka membandingkan animasi lokal dengan produk global. Ketika kualitas tidak sepadan, klaim nasionalisme pun runtuh. Alih-alih memantik kebanggaan, film itu justru menimbulkan kekecewaan sebuah paradoks dari proyek yang mestinya menguatkan identitas bangsa.
Nasionalisme Simbolik vs Nasionalisme Kultural
Jika kita tarik benang merah, dua fenomena di atas menggambarkan pertarungan antara nasionalisme simbolik dan nasionalisme kultural.
Nasionalisme simbolik adalah nasionalisme yang direduksi pada atribut formal: bendera, lagu, film, atau ritual kenegaraan.
Ia cenderung diproduksi dari atas ke bawah dan menuntut ketaatan.
Sebaliknya, nasionalisme kultural lahir dari interaksi sehari-hari masyarakat dengan simbol, narasi, dan praktik kultural baik lokal maupun global.
Ia tidak selalu berbentuk formal, tetapi bisa hadir dalam fandom, komunitas digital, atau budaya populer.
Benedict Anderson dalam teorinya tentang komunitas terbayang mengingatkan bahwa bangsa ada sejauh ia diimajinasikan.
Imajinasi itu tidak tunggal; ia bisa hadir dalam berbagai bentuk, termasuk anime, musik, atau simbol global yang dimaknai ulang secara lokal.
Ketika negara menolak mengakui nasionalisme kultural, yang terjadi adalah alienasi generasi muda.
Mereka merasa nasionalisme formal tidak relevan dengan pengalaman hidup mereka. Inilah krisis yang kini dihadapi Indonesia di usia 80 tahun: kita merdeka secara politik, tetapi belum merdeka secara kultural.
Generasi Muda, Ruang Digital, dan Nasionalisme Baru