Opini

Ketika Nasionalisme Direduksi: Dari Bendera Bajak Laut hingga Animasi Rp 6,7 Miliar

Editor: Edi Sumardi
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Andi Dody May Putra Agustang, dosen Pendidikan Sosiologi UNM dan mahasiswa S3 UI

Bendera One Piece dengan tengkorak mengenakan topi jerami bukan sekadar lambang bajak laut fiksi.

Dalam narasi One Piece, bendera itu merepresentasikan solidaritas kru, keberanian melawan kekuasaan otoriter, dan tekad mencari kebebasan sejati.

Nilai-nilai itulah yang ditangkap generasi muda Indonesia. Bagi mereka, mengibarkan bendera itu bukan bentuk pengkhianatan pada merah putih, melainkan cara lain untuk merayakan persaudaraan, imajinasi, dan semangat perlawanan terhadap ketidakadilan.

James C Scott menyebut praktik semacam ini sebagai resistensi simbolik: masyarakat mengekspresikan perlawanan atau identitas alternatif melalui simbol-simbol budaya, bukan melalui demonstrasi frontal.

Mengibarkan bendera One Piece adalah cara generasi digital menyuarakan nasionalisme kultural nasionalisme yang cair, hibrid, dan organik, bukan produk indoktrinasi formal.

Ironisnya, negara justru melihatnya sebagai ancaman. Pandangan sempit ini lahir dari paradigma lama: nasionalisme diukur dari ketaatan pada simbol resmi.

Padahal, dalam konteks globalisasi budaya, loyalitas generasi muda pada bangsa tidak lagi dimediasi hanya oleh simbol formal, melainkan juga oleh representasi kultural lintas batas.

Animasi Merah Putih 

Berbeda dengan One Piece yang tumbuh organik dari bawah, negara mencoba menghadirkan nasionalisme melalui jalur top-down: film animasi Merah Putih: One for All.

Film ini dipromosikan sebagai karya kebanggaan anak bangsa, didukung dana fantastis Rp 6,7 miliar.

Tetapi hasilnya justru menuai cemooh.

Publik menganggap animasi itu jauh dari standar internasional, narasinya dangkal, dan tidak mampu bersaing dengan anime Jepang, film Pixar, atau bahkan animasi buatan komunitas independen.

Kegagalan ini menyingkap dua hal penting.

Pertama, negara masih memahami nasionalisme sebagai proyek simbolik: cukup hadirkan film berlabel “Merah Putih”, maka masyarakat akan merasa bangga.

Kedua, anggaran besar tidak otomatis menghasilkan karya berkualitas.

Halaman
1234

Berita Terkini