Tribun RT RW

Makassar Catat 214 Kasus Kekerasan Anak di Makassar, RT/RW Diminta Turun Tangan

Penulis: Siti Aminah
Editor: Saldy Irawan
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DPPPA) Kota Makassar, Ita Isdiana Anwar, yang menyerukan pentingnya keterlibatan aktif dari tokoh masyarakat di tingkat paling dasar.

TRIBUN-TIMUR.COM, MAKASSAR – Kekerasan terhadap anak dan perempuan masih menjadi persoalan serius di Kota Makassar.

Sepanjang Januari hingga Juli 2025, tercatat 383 kasus kekerasan telah dilaporkan ke UPTD Perlindungan Perempuan dan Anak.

Dari jumlah tersebut, 214 kasus atau 56 persen merupakan kekerasan terhadap anak. Sisanya, 169 kasus menimpa perempuan, termasuk 23 kasus kekerasan dalam rumah tangga.

Kondisi ini mendapat sorotan dari Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DPPPA) Kota Makassar, Ita Isdiana Anwar, yang menyerukan pentingnya keterlibatan aktif dari tokoh masyarakat di tingkat paling dasar.

“Ketua RT dan RW harus berani melawan kekerasan. Mereka adalah ujung tombak yang bersentuhan langsung dengan warga, sehingga perannya sangat penting dalam mendeteksi dan mencegah kekerasan sedini mungkin,” ujarnya, Kamis (14/8/2025).

Data DPPPA juga mencatat adanya 35 anak yang berhadapan dengan hukum, baik sebagai korban, pelaku, maupun saksi.

Yang lebih memprihatinkan, empat anak terjerumus dalam penyalahgunaan Napza (narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya).

Tak hanya itu, kekerasan juga menimpa anak-anak penyandang disabilitas, menunjukkan bahwa kerentanan bisa menimpa siapa saja, tanpa pandang kondisi.

“Anak-anak bisa saja masuk ke pergaulan yang salah jika tidak diawasi. Kita pernah tangani kasus kekerasan pada anak disabilitas. Ini bukan hanya tentang angka, tapi tentang masa depan anak-anak kita,” kata Ita.

DPPPA menilai, RT dan RW memiliki posisi strategis untuk menjadi penghubung antara masyarakat dan pemerintah dalam penanganan kekerasan.

Selain menjadi pelapor awal, RT/RW diharapkan aktif dalam mengawasi aktivitas warga dan anak-anak di lingkungan masing-masing, serta bekerja sama dengan shelter atau layanan pengaduan ketika menemukan indikasi kekerasan.

“Kalau ada kekerasan, jangan diam. RT dan RW bisa bantu laporkan ke shelter warga atau ke kami. Kita perlu gotong royong agar tidak ada anak atau perempuan yang menjadi korban di lingkungan kita sendiri,” tegas Ita.

Sayangnya, masih banyak kasus yang tidak terungkap karena korban atau keluarganya memilih diam. Ita menyebut, ketakutan, rasa malu, atau tidak tahu ke mana harus melapor sering kali menjadi hambatan utama.

Membangun Lingkungan yang Aman

Karena itu, DPPPA juga mendorong RT dan RW untuk mensosialisasikan hak-hak anak dan perempuan, serta mengedukasi masyarakat soal pentingnya pengasuhan yang bebas dari kekerasan.

Edukasi ini, menurut Ita, penting untuk membangun pola pikir kolektif bahwa kekerasan bukanlah hal yang bisa ditoleransi, sekecil apa pun bentuknya.

“Yang paling penting adalah memberi contoh. RT dan RW harus ikut membentuk lingkungan yang ramah anak dan perempuan. Itu dimulai dari rumah, dari pola asuh, dari nilai-nilai yang ditanamkan setiap hari,” pungkasnya.(*)

Berita Terkini