Negara Harus Mendengar, Bukan Sekadar Mengatur
Presiden memang punya hak konstitusional untuk memberi abolisi. Tapi dalam sistem demokrasi, tidak semua yang sah pasti pantas.
Hukum itu sah secara formal, tapi keadilan lahir dari rasa keterlibatan publik.
Ketika hukum terasa terlalu jauh dari keadilan sosial, maka kepercayaan rakyat bisa runtuh.
Dan sekali kepercayaan itu hilang, sulit untuk membangunnya kembali. Orang jadi apatis, sinis, bahkan kehilangan harapan. Ini bahaya besar bagi kehidupan bernegara.
Abolisi bukan sekadar keputusan hukum ia adalah pesan moral. Pesan bahwa negara hadir, bahwa negara peduli, bahwa negara tahu apa yang sedang dirasakan rakyat.
Yang Dibutuhkan Bukan Retorika, Tapi Ketulusan
Bagi tokoh yang mendapat abolisi, tantangan baru justru dimulai. Ia perlu membuktikan bahwa dirinya pantas dipercaya kembali. Ini bukan soal pencitraan.
Ini soal konsistensi, transparansi, dan keberanian menghadapi publik. Jika dia bisa menjelaskan, membuka diri, dan menunjukkan sikap yang bertanggung jawab, maka kepercayaan publik bisa tumbuh lagi, perlahan.
Tapi kalau tidak, maka abolisi hanya menjadi catatan hukum, bukan pemulih nama.
Penutup: Hukum Itu Alat, Bukan Tujuan
Kita semua ingin hidup dalam negara hukum. Tapi jangan lupa: hukum hanyalah alat.
Tujuannya adalah keadilan. Dan keadilan tidak hanya dihitung dengan pasal-pasal, tapi juga dengan empati, rasa hormat, dan keberanian untuk berkata jujur.
Abolisi adalah hak Presiden. Tapi hak rakyat untuk tahu dan merasa adil juga tidak bisa diabaikan. Jika dua hak ini tidak dijaga keseimbangannya, maka kita sedang menggali jurang antara penguasa dan masyarakat.
“Mari kita jaga hukum agar tetap hidup. Bukan sekadar di atas kertas, tapi juga di hati rakyat”