Oleh: Assoc Prof dr Alwi A Mappiasse SH MH SpDV-E PhD
Dosen Etik dan Humaniora Kedokteran, Fakultas Kedokteran Universitas Bosowa
TRIBUN-TIMUR.COM - Beberapa waktu terakhir, jagat media kembali ramai. Seorang tokoh publik yang sebelumnya tersangkut perkara hukum, dinyatakan “bebas” melalui abolisi.
Banyak yang terperangah. “Kok bisa?” tanya orang-orang. “Baru kemarin disebut-sebut dalam kasus besar, sekarang dilepas begitu saja?” Pertanyaan seperti itu bukan tanpa dasar.
Di tengah masyarakat yang makin cerdas dan melek hukum, keputusan seperti abolisi tidak bisa diterima mentah-mentah.
Ada kegelisahan, ada rasa yang mengganjal. Apalagi jika keputusan tersebut datang begitu cepat, tanpa penjelasan yang memadai.
Secara hukum, abolisi memang legal. UUD 1945 Pasal 14 ayat (2) memberikan wewenang kepada Presiden untuk memberi amnesti dan abolisi, dengan pertimbangan DPR⊃1;.
Abolisi berarti menghentikan proses hukum terhadap seseorang, baik di tahap penyelidikan, penyidikan, atau bahkan saat sudah di meja pengadilan⊃2;.
Namun, satu hal penting perlu ditegaskan: abolisi menyelesaikan masalah hukum. Tapi bagaimana dengan perasaan publik? Dengan luka kolektif? Dengan rasa percaya yang sempat terguncang?
Hukum Itu Hitam-Putih, Tapi Keadilan Punya Banyak Warna
Hukum bekerja berdasarkan bukti, pasal, prosedur. Tapi masyarakat bekerja dengan rasa.
Mereka mempertimbangkan cerita, latar belakang, dan dampak. Hukum bisa menyatakan “tidak bersalah”, tapi apakah itu membuat semua orang lega? “Tidak selalu”
Ketika seseorang mendapat abolisi, tentu ia merasa terbebas dari ancaman penjara. Tapi publik belum tentu menghapus memorinya.
Nama yang pernah disebut dalam pusaran kasus besar tidak serta-merta bersih hanya karena hukum berkata demikian.
Inilah titik krusialnya. Abolisi boleh sah secara hukum, tapi bisa terasa janggal di hati masyarakat. Apalagi jika prosesnya dianggap tertutup, tidak transparan, atau terkesan eksklusif.
Jejak Tak Mudah Dihapus
Di era digital ini, jejak digital tak bisa diseka seperti papan tulis. Sekali muncul di berita, nama akan selalu bisa dicari di Google. Potongan video, cuitan, rekaman wawancara semuanya tinggal klik. Dan publik hari ini tak lagi pasif.
Mereka menggali informasi, menyusun potongan-potongan, lalu membentuk penilaian sendiri.
Bahkan ketika keputusan abolisi diumumkan, sebagian masyarakat tetap bertanya: mengapa diberi? siapa yang mengusulkan? apa pertimbangannya?
Abolisi bisa menghapus tuntutan pidana, tapi tidak serta-merta menghapus rasa curiga. Apalagi bila orang merasa “ada yang disembunyikan”.
Jangan Remehkan Luka Sosial
Kasus-kasus besar sering menimbulkan luka kolektif. Terutama jika berkaitan dengan uang negara, penyalahgunaan jabatan, atau hal-hal yang menyentuh rasa keadilan publik.
Saat pelakunya tiba-tiba “dibebaskan” tanpa penjelasan terbuka, luka itu terasa makin dalam. Masyarakat kita, walau ramah dan sabar, tetap punya batas. Mereka bisa memaafkan, tapi ingin dihargai.
Mereka ingin kejelasan, bukan sekadar pernyataan pers singkat atau lembaran keputusan hukum yang dibacakan tanpa empati.
Inilah yang sering luput dari pejabat: bahwa publik bukan hanya objek hukum, tapi subjek moral.
Dan ketika keputusan hukum tidak dibarengi komunikasi yang jujur dan terbuka, maka lahirlah rasa kecewa.
Abolisi Bukan Alat Cuci Nama
Kita perlu menegaskan bahwa abolisi bukan alat pembersih reputasi. Ia bukan pemutih catatan moral.
Yang bisa membersihkan nama seseorang bukan surat keputusan, tapi sikap setelahnya. Apakah ia menjelaskan?
Meminta maaf jika memang bersalah? Atau malah menjauh dari publik dan bersikap defensif?
Dalam banyak kasus, publik justru bisa memaafkan bila seseorang menunjukkan kesungguhan berubah.
Tapi bila seseorang merasa abolisi adalah “pembebasan total” tanpa rasa tanggung jawab moral, maka masyarakat akan tetap menjaga jarak.
Negara Harus Mendengar, Bukan Sekadar Mengatur
Presiden memang punya hak konstitusional untuk memberi abolisi. Tapi dalam sistem demokrasi, tidak semua yang sah pasti pantas.
Hukum itu sah secara formal, tapi keadilan lahir dari rasa keterlibatan publik.
Ketika hukum terasa terlalu jauh dari keadilan sosial, maka kepercayaan rakyat bisa runtuh.
Dan sekali kepercayaan itu hilang, sulit untuk membangunnya kembali. Orang jadi apatis, sinis, bahkan kehilangan harapan. Ini bahaya besar bagi kehidupan bernegara.
Abolisi bukan sekadar keputusan hukum ia adalah pesan moral. Pesan bahwa negara hadir, bahwa negara peduli, bahwa negara tahu apa yang sedang dirasakan rakyat.
Yang Dibutuhkan Bukan Retorika, Tapi Ketulusan
Bagi tokoh yang mendapat abolisi, tantangan baru justru dimulai. Ia perlu membuktikan bahwa dirinya pantas dipercaya kembali. Ini bukan soal pencitraan.
Ini soal konsistensi, transparansi, dan keberanian menghadapi publik. Jika dia bisa menjelaskan, membuka diri, dan menunjukkan sikap yang bertanggung jawab, maka kepercayaan publik bisa tumbuh lagi, perlahan.
Tapi kalau tidak, maka abolisi hanya menjadi catatan hukum, bukan pemulih nama.
Penutup: Hukum Itu Alat, Bukan Tujuan
Kita semua ingin hidup dalam negara hukum. Tapi jangan lupa: hukum hanyalah alat.
Tujuannya adalah keadilan. Dan keadilan tidak hanya dihitung dengan pasal-pasal, tapi juga dengan empati, rasa hormat, dan keberanian untuk berkata jujur.
Abolisi adalah hak Presiden. Tapi hak rakyat untuk tahu dan merasa adil juga tidak bisa diabaikan. Jika dua hak ini tidak dijaga keseimbangannya, maka kita sedang menggali jurang antara penguasa dan masyarakat.
“Mari kita jaga hukum agar tetap hidup. Bukan sekadar di atas kertas, tapi juga di hati rakyat”