Selain kehilangan mata pencaharian, masyarakat mulai mengalami gangguan pernapasan akibat pembakaran batubara di kawasan industri.
Negara Dinilai Abai
"Kalau rakyat yang salah, cepat diproses. Tapi kalau perusahaan tambang yang merusak, dibiarkan. Negara tidak hadir di situ," ujar Safri.
Ia menyebut sebagian besar tambang dimiliki orang luar daerah, bahkan luar negeri.
Dari 100 persen lokasi tambang, sekitar 85 persen bukan milik warga lokal.
Safri mempertanyakan keadilan DBH tambang.
Menurutnya, Sulteng hanya menerima Rp220 miliar dari total pajak Rp571 triliun.
Artinya, kurang dari satu persen.
"Makanya saya bilang, ini tidak adil. Kita tidak tahu berapa juta metrik ton nikel yang dibawa keluar dari daerah ini," tegasnya.
Ia menuntut kewenangan pengelolaan diberikan ke daerah agar bisa mengawasi dan menikmati hasil sumber daya alam secara lebih adil.
Ia menyinggung kasus PT Halmahera yang mencemari air bersih, namun tidak ditindak.
"Kalau tidak ada kekuatan besar di belakang mereka, mana mungkin mereka berani langgar aturan seperti itu?" ucapnya.
Safri menuding ada aktor kuat yang melindungi perusahaan tambang.
Hal ini menjadi alasan mengapa pelanggaran terus dibiarkan.
Safri menyambut baik instruksi Presiden Prabowo yang meminta evaluasi proyek strategis nasional (PSN).
Ia menilai sebagian besar PSN tidak membawa manfaat signifikan bagi masyarakat.
"Yang ada justru masyarakat kehilangan mata pencaharian dan lingkungan rusak," kata Safri.
Ia juga mendorong moratorium izin pinjam pakai kawasan hutan (IPPKH), karena terlalu longgarnya izin menjadi salah satu penyebab bencana seperti banjir dan longsor. (*)