Opini

Sinergi Koperasi dan Rehabilitasi Narkoba 

Editor: Sudirman
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Muhammad Hatta, Dokter Badan Narkotika Nasional

Oleh: Muhammad Hatta

Dokter pada Badan Narkotika Nasional  


TRIBUN-TIMUR.COM - Era globalisasi telah menghilangkan sekat transportasi, komunikasi, perekonomian serta sosial budaya masyarakat dunia.

Walau demikian ia menghadirkan pula tantangan-tantangan baru berupa disrupsi peta konsumen, perubahan pasar yang makin kompetitif, kesenjangan digital serta makin kompleksnya rantai pasok distribusi.

Menghadapi tantangan-tantangan tersebut, koperasi harus mampu memodernisasi struktur organisasinya agar lebih adaptif, luwes serta responsif terhadap perubahan yang terjadi di sekelilingnya(S Ichsan, 2023). 

Salah satu kunci modernisasi koperasi adalah membangun model bisnis inklusif dan berkelanjutan.

Model bisnis tersebut tak hanya mengacu pada pendekatan strategis yang memperhitungkan keberagaman aspek operasional koperasi dan keterlibatan semua stakeholder terkait.

Namun juga perluasan cakupan inklusi dalam proses pengembangan produk, jasa layanan serta diversifikasi unit usaha milik koperasi( Hanggoro, 2024). 

Diversifikasi KMP terkait P4GN  

Diversifikasi usaha koperasi telah lama dirumuskan Proklamator Mohammad Hatta di Dalam pidatonya di RRI pada Hari Koperasi tahun 1951.

Rumusan tersebut diadopsi Koperasi Merah Putih(KMP) menjadi 7 unit usaha yang wajib dilakukan di wilayah desa/kelurahan tersebut.unit usaha tersebut antara lain adalah kantor koperasi, kios pengadaan sembako, unit bisnis simpan pinjam, klinik kesehatan desa/kelurahan, apotek desa, sistem pergudangan serta sarana logistik(JPNN, 14/4/25).  

Uniknya, beberapa unit usaha tersebut beririsan secara langsung dan tidak langsung dengan program Pencegahan dan Pemberantasan Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkoba(P4GN), 

Data Badan Narkotika Nasional(BNN) menunjukkan penurunan prevalensi kecanduan narkoba sedari 1,95 persen pada tahun 2021 menjadi 1,73 persen pada  2023, yang  berarti terdapat 3,33 juta penduduk Indonesia yang aktif pakai narkoba di tahun lalu tersebut  (Kompas,15/11/2023).

Dari jumlah tersebut, kurang lebih hanya 67 ribu (2,2 persen) yang mendapatkan layanan rehabilitasi baik di institusi pemerintah maupun milik swasta/ masyarakat. 

Masih terdapat jutaan penyalahguna narkoba aktif yang belum mendapat akses layanan rehabilitasi agar pulih  dari kecanduannya(BNN, 2024).  

Ini merupakan peluang bagi KMP agar terlibat dalam proses rehabilitasi pecandu narkoba melalui penambahan layanan  Institusi Penerima Wajib Lapor(IPWL) pada Klinik Desa/Kelurahan yang diampunya.  

Saat ini terdapat kurang lebih 1200 layanan IPWL di seluruh Indonesia namun tak ada yang berwujud badan usaha Koperasi.

Padahal Permenkes Nomor 4 Tahun 2010 menjelaskan pembiayaan proses rehabilitasi pecandu narkoba ditanggung sepenuhnya oleh negara melalui klaim reimbursment setiap bulan kepada lembaga/unit usaha penyedia layanan.

Artinya, penyediaan layanan rehabilitasi narkoba di KMP dapat menghasilkan profit sesuai keinginan Pemerintah, tak sekedar menjadi program pro bono belaka.   

KMP dapat pula memberdayakan mantan pecandu yang berdomisili di wilayahnya menjadi anggota koperasi dimana ia berperan sebagai pengelola dan atau sponsorship Klinik IPWL KMP.

Sedapat mungkin anggota koperasi adalah mantan pecandu yang telah menjalani proses rehabilitasi dan telah dinyatakan pulih(clean) paling kurang selama 12 bulan.

Pada mode kantor koperasi,  KMP berfungsi sebagai unit penyalur jasa yang menyalurkan kompetensi mantan pecandu ke bidang pekerjaan yang membutuhkan  keahlian mereka masing masing.

Proses pemberdayaan ini penting mengingat mantan amat rentan terjerumus kembali pakai narkoba jika tak bekerja.

Sebelum disalurkan, KMP dapat bekerja sama dengan pusat-pusat pelatihan tenaga kerja(BLK) milik Kementrian Tenaga Kerja dan instansi terkait lainnya  dalam hal pemenuhan skill dan kompetensi mereka. 

Pada mode sistem pergudangan dan sarana logistik, KMP berfungsi sebagai koperasi pemasaran dimana ia membantu memasarkan produk-produk pertanian dan hewani yang dihasilkan oleh pecandu narkoba yang tengah dirawat inap di dalam pusat rehabilitasi.

Produk yang dihasilkan antara lain berupa kerajinan tangan hingga produk hortikultura  hasil usaha hidroponik. 

Hingga tulisan ini dibuat, ide kolaborasi tersebut di atas belum pernah diterapkan di Indonesia.

Padahal di Italia misalnya, sejak 1978 koperasi  San Patrignano menjelma  menjadi pusat rehabilitasi terbesar di Eropa dengan memulihkan 3000 klien setiap tahunnya.

Gurita unit usaha mereka meliputi sekolah(training centre), perusahaan pembiayaan mikrokredit hingga penyalur tenaga kerja(sanpatrignano.org). 

Akhirul kalam, model kolaborasi berbasis komunitas terkecil seperti inilah yang dapat menghasilkan efek berganda ekonomi serta memperbesar peluang peningkatan sumber daya manusia Indonesia  di kemudian hari..

Berita Terkini