Ia datang ke rumah dosen itu bukan tanpa alasan. Pagi harinya, sang dosen menjanjikan akan memberinya kesempatan ujian lisan ulang. “Datang saja malam,” kata dosen setelah perkuliahan selesai seperti ditirukan AD.
Walau hati kecilnya ragu saat itu, AD memutuskan untuk menyambangi rumah dosennya. Sendiri.
"Sebab saya butuh nilai untuk lulus." Ketika tiba di rumah sang dosen, gerbang dan pintu terbuka lebar. Seolah-olah ia memang sudah ditunggu.
Dosen itu berdiri di depan pintu, menyambutnya dengan senyum dan segera memintanya masuk. Begitu AD melangkah ke dalam, pagar ditutup, pintu dikunci.
Hatinya mencelos. Tapi ia tak punya pilihan. Ia melangkah perlahan melewati ruang tengah sederhana.
Di sebelah kanan pintu masuk ada televisi tak terlalu besar menempel di dinding, rak buku di depannya, dan meja serta kursi kerja di sisi lain. Tidak ada karpet, tidak ada sofa.
Hanya selembar sarung terbentang di lantai. Dosen itu duduk di atasnya, hanya mengenakan celana pendek, lalu berkata, “Pijat dulu.” Ucapan itu membuat AD tertegun. Seketika dadanya terasa sesak.
Ada kegelisahan merayap diam-diam, tapi tak sanggup ia tolak permintaan itu.
Tubuhnya terpaku, pikirannya kacau.
Beberapa saat kemudian, dosen itu berdiri dan berjalan masuk ke kamar mandi.
AD hanya bisa duduk mematung.
Tak lama, ia keluar lagi lalu menyuruh AD masuk ke sebuah kamar.
Kamar itu tampak rapi, namun asing dan kaku. Di sebelahnya, terdapat satu kamar lain, pintunya tertutup rapat.
AD melangkah masuk dengan langkah berat. Matanya sekilas menyapu ruangan, tapi pikirannya tak ada di sana. Perasaan tak menentu. Antara cemas, takut, dan bingung.
Kepala AD penuh dengan kemungkinan, tapi tubuhnya tetap melangkah mengikuti perintah si dosen. Di dalam, AD kembali bertanya, “Kapan ujian lisannya dimulai?” Tapi sang dosen hanya menjawab sambil tersenyum tipis, “Di kamar, sambil pijat.” Jawaban itu membuat langkah AD kian berat.