TRIBUN-TIMUR.COM, MAKASSAR – Industri tekstil di Kota Makassar, Sulawesi Selatan (Sulsel), terus mengalami penurunan omzet dalam beberapa tahun terakhir.
Setelah PT Sri Rejeki Isman Tbk atau Sritex pailit dan menyebabkan PHK ribuan karyawan, kini pelaku industri tekstil di Makassar menghadapi tantangan serupa.
Usaha tekstil di Makassar juga terancam. Kini sepi pembeli akibat kebijakan pemerintah.
Pegawai Sentra Textile, Wina, mengatakan daya beli masyarakat terus menurun, sehingga mereka harus lebih selektif untuk mengatur stok barang.
“Bahkan sampai kami yang ingin stok barang harus melihat kebutuhan, kami harus pilah,” ujar Admin Sentra Textile, Wina, saat ditemui Tribun-Timur.com, Selasa (10/6/2025) siang.
“Jadi tidak semua langsung tersedia, ini semua (stok) harus dipilah,” sambungnya.
Wina menyebut omzet di tokonya terus menurun beberapa tahun terakhir.
Ia mencatat penurunan bisa mencapai 20 persen.
“Bahkan bisa lebih, apalagi ketika pembeli kain seragam kurang,” ungkapnya.
Untuk mempertahankan industri tekstil ini, Wina mulai menjual produk secara daring.
Namun, ia mengaku strategi itu belum berdampak besar terhadap peningkatan pendapatan.
Walau begitu, faktor bahan baku untuk produksi kain produksi di tokonya.
Wina mengaku tidak bergantung pada bahan baku impor untuk produksi.
Melihat omzet yang terus merosot, Wina meminta pemerintah menghapus sistem tender dalam pengadaan seragam dinas.
Menurutnya, sistem ini membuat pelaku usaha di luar Pulau Jawa sulit bersaing.
“Jadi kami kalah saing dengan produksi di Indonesia bagian barat (Jawa),” tuturnya.
“Salah satu posisi yang diuntungkan itu, yakni harga, di mana harga di sana pasti lebih murah,” sambungnya.
Sebab itu, ia berharap pemerintah memberi solusi agar pelaku usaha di Indonesia timur tetap bisa bertahan.
“Mungkin bisa, kainnya itu dibeli secara mandiri oleh para pegawai,” tuturnya.
“Secara tidak langsung itu juga akan menghidupkan para penjahit rumahan. Nah, kalau tender itu hanya konveksi yang berkaitan atau yang menang tender,” sambungnya.
Pengusaha Tekstil Berharap Terbitnya Regulasi Lindungi UMKM Pakaian Jadi
Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) mendorong diterbitkannya Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) baru tentang kebijakan dan pengaturan tata impor yang berkaitan dengan industri Tekstil dan Produk Tekstil (TPT), khususnya pakaian jadi.
Menurut Ketua Umum API Jemmy Kartiwa Sastratmaja, dengan berlarut-larutnya proses revisi permendag akan banyak perusahaan dari industri TPT yang kolaps.
Jemmy mengatakan, banyak perusahaan mengalami tekanan berat akibat masuknya barang impor dalam jumlah besar, sementara penegakan hukum terhadap pelanggaran impor ilegal masih sangat lemah.
"Jika kondisi ini terus dibiarkan tanpa regulasi yang lebih protektif, industri TPT dikhawatirkan menghadapi gelombang PHK lanjutan yang lebih besar, terutama di sektor padat karya yang selama ini menjadi tumpuan jutaan pekerja di berbagai daerah,” kata Jemmy dalam keterangannya di Jakarta, Senin (9/6/2025).
Jemmy sangat mengapresiasi usaha dari Menteri Perdagangan (Mendag) Budi Santoso untuk memastikan proses revisi Permendag Nomor 8 Tahun 2024 bisa dijalankan. Saat ini revisi Permendag 8/2024 hanya perlu menunggu penyelesaian dari sisi administrasi.
Budi memastikan dalam perubahan regulasi nantinya tidak akan membuat Indonesia menjadi kebanjiran produk impor, khususnya untuk komoditas terkait hasil industri padat karya, industri strategis, dan ketahanan pangan.
“Percepatan revisi Permendag 8/2024 menjadi krusial, bukan hanya untuk memberikan kepastian usaha, tetapi juga sebagai langkah penyelamatan terhadap potensi krisis ketenagakerjaan nasional. Tentunya kami ingin mendorong dan mendukung usaha dari Pak Menteri Perdagangan yang sudah menyelesaikan proses revisi (Permendag No 8 Tahun 2024). Kami menunggu,” ujar Jemmy.
Lebih lanjut, dia mengatakan dengan adanya kebijakan tarif resiprokal dari Amerika Serikat terhadap China dan negara tertentu, Indonesia saat ini menjadi target penetrasi baru bagi produk pakaian jadi murah.
Berdasarkan data nilai ekspor ke AS pada tahun 2023, ia menyebut China sebagai negara terbesar dengan menguasai 20,7 persen pangsa pasar ekspor dengan nilai sebesar US$ 16,4 miliar.
Menyusul, Vietnam dengan nilai ekspor US$ 15,5 miliar dengan pangsa 19,6?n Bangladesh dengan pangsa pasar 13,2 % .
Sementara Indonesia dan India tertinggal jauh dengan hanya menguasai pangsa ekspor masing-masing sebesar 6,4?ngan nilai US$ 5,1 miliar dan 6,2?ngan nilai US$ 4,9 miliar.
“Vietnam dengan jumlah penduduk hanya 35?ri populasi Indonesia ternyata mampu menjadi eksportir terbesar kedua pakaian jadi ke AS. Nilai ekspor mereka bahkan hampir tiga kali lipat lebih besar dari Indonesia. Ini menunjukkan bahwa skala penduduk bukan penentu, namun strategi kebijakan sangat berperan,” ujarnya.
Jemmy menegaskan pentingnya untuk menjaga pasar domestik sebagai bantalan (buffer) ekspor. Dalam situasi pasar ekspor melemah, kata dia, pasar dalam negeri harus menjadi buffer bagi industri ekspor agar tetap bisa bertahan.
Melindungi pasar domestik dari banjir barang impor, terutama lewat regulasi yang adil dan pengawasan ketat, menurut dia, adalah langkah strategis untuk mempertahankan keberlangsungan industri.
Lebih jauh Jemmy mengungkap karakteristik industri TPT ini pada banyak menyerap jutaan tenaga kerja di daerah dengan tingkat pendidikan rendah hingga menengah serta sebagiannya adalah UMKM.
Berdasarkan data BPS tahun 2024, latar belakang pendidikan pekerja di industri TPT terbanyak dihuni oleh tamatan SD (23,22 % ). Selanjutnya diikuti tamatan SMA (21,38 % ) dan SMP (17,47 % ).
“Ketika pasar global melemah, pasar dalam negeri yang sehat akan menjadi sabuk pengaman terakhir. Jangan sampai industri kita yang padat karya, dengan kontribusi besar ke tenaga kerja dan devisa, tumbang hanya karena regulasi terlambat. Kami percaya pemerintah ingin keluar dari situasi ini,” tutur Jemmy. (tribun-timur.com/kontan).