“Ini akan memberikan akses yang lebih baik bagi masyarakat berpenghasilan rendah terhadap fasilitas umum, transportasi, dan lapangan pekerjaan, mengurangi beban komuter, dan meningkatkan kualitas hidup mereka,” jelasnya.
Ia menambahkan, dengan dirubahnua batasan minimal luas rumah subsidi akan mengoptimalkan anggaran.
Menurutnya, dengan menekankan pada desain bangunan yang efisien dan ukuran yang lebih kecil, biaya pembangunan per unit dapat ditekan secara signifikan.
Hal ini berarti anggaran per unit rumah subsidi, yang sama dapat digunakan untuk menyediakan lebih banyak unit rumah, menjangkau lebih banyak keluarga yang membutuhkan.
Selain itu, menurutnya wacana ini berdampak positif pada pemanfaatan lahan urban yang lebih baik.
“Lahan di perkotaan sangat berharga. Dengan konsep bangunan yang lebih ringkas dan efisien, kita dapat memaksimalkan penggunaan lahan yang tersedia, bahkan yang mungkin sebelumnya dianggap tidak layak untuk pengembangan rumah subsidi karena harganya,” kata Alfriedyus.
Lebih dari itu, ia juga menilai wacana ini akan mengurangi beban infrastruktur baru.
Sebab, pembangunan perumahan di pinggiran kota seringkali menuntut pembangunan infrastruktur baru yang mahal, seperti jalan, air, listrik, dan sebagainya.
Dengan mengarahkan subsidi ke dalam kota, kata dia, pengembang dapat memanfaatkan infrastruktur yang sudah ada, sehingga mengurangi biaya tambahan bagi pemerintah dan pengembang.
“Singkatnya, dengan fokus pada efisiensi biaya pembangunan dan harga tanah, kita bisa mewujudkan lebih banyak rumah subsidi di lokasi yang lebih strategis, yaitu di dalam kota, sehingga memberikan manfaat yang lebih besar bagi masyarakat dan optimalisasi anggaran pemerintah,” kata Alfriedyus. (*)