Opini

Framing Negatif Dokter dan Kesalahan Berpikir

Editor: Edi Sumardi
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

drg Rustan Ambo Asse SpPros, alumnus Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Hasanuddin

drg Rustan Ambo Asse SpPros

Alumnus Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Hasanuddin

ADA suatu pertahanan yang tidak boleh lemah meski negara dalam kondisi perang sekalipun.

Pertahanan itu adalah sumber daya kesehatan dan kemampuan kompetensi dokter.

Hipokrates telah menitipkan pesan etik dan moral dalam sejarah perkembangan kedokteran modern.

Pasien harus dipandang secara utuh, penuh belas kasih dan bertanggung jawab dalam kesembuhanya.

Itulah sebabnya kurikulum pendidikan kedokteran dan kedokteran gigi mesti dipikirkan oleh lembaga independen berupa kolegium yang bertindak otonom, karena dengan demikian muatan pendidikan kedokteran yang evidence based dapat dipertahankan.

Bukti sejarah paling dekat membuktikan dokter-dokter Indonesia dan tenaga kesehatan produk kolegium terkait telah berhasil berjibaku melawan Covid-19, salah satu perang melawan virus paling mamatikan sepanjang sejarah

Framing Negatif 

Faktanya ada oknum dokter yang melanggar etika profesi berbuat cabul dan pantas dihukum, sebagaimana kita ketahui ada oknum polisi menilang pengendara motor dan tidak sesuai prosedur, ada oknum hakim menerima suap, ada oknum politisi korupsi, dan bahkan ada oknum guru yang berbuat cabul terhadap muridnya.

Tapi semua oknum itu tidak serta merta mewakili sebuah narasi pembenaran bahwa proses pendidikan kedokteran harus diambil alih oleh kementerian kesehatan, proses pendidikan guru harus diambil alih Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi Republik Indonesia.

Kesimpulan yang terburu-buru berbasis data partial ini pada akhirnya menimbulkan kesalahan berpikir dan manjadikan sebuah framing negatif terhadap dokter.

Orang -orang menjadi lupa ada banyak dokter berjibaku di ruang operasi menyelamatkan nyawa pasien, ada banyak dokter bertugas di tempat terpencil dengan fasilitas minim , hidup kekurangan dan jauh dari keluarga. 

Kembalikan Peran 

Kompetensi seorang dokter dan dokter gigi terbentuk dari sebuah proses pendidikan yang merupakan implementasi kurikulum pendidikan yang selama ini lahir dari kolegium terkait.

Pada konteks ini harus dipahami bahwa muatan kurikulum pendidikan tersebut dibentuk oleh para ahli dibidangnya berdasarkan teori, pengalaman dan tentu tetap berlandaskan etika kedokteran.

Proses pendidikan PPDS dan PPDGS adalah proses pendidikan yang berjenjang menurut level kompetensi, itulah sebabnya dokter yang menempuh pendidikan spesialis terkadang mendapat didikan dari seniornya karena  sistem yang dibangun secara hirarki berjenjang menurut kemampuan dokter residen, namun tetap dalam pantauan konsulen.

Tak ada yang salah dari proses itu, pun jika ada proses yang tidak benar maka tugas Institusi pendidikan untuk evaluasi dan perbaiki, bukankah lebih bijak jika ada buah mangga yang busuk adalah memotong rantingnya bukan menebang pohonya.

Karena memotong pohon mangga itu sama dengan memangkas lahirnya banyak  buah mangga yang ranum.

Pelayanan Kesehatan

Perkembangan ilmu kedokteran gigi dan Kompetensi pada era sekarang memang telah mengalami Transformasi dan sekaligus transisi. 

Hal ini kurang lebih 45 tahun yang lalu juga dialami oleh dunia kedokteran di Indonesia. 

Keterbatasan dokter gigi di daerah terpencil , solusinya tentu bukan meningkatkan kompetensi tukang gigi.

Tapi bagaimana mendistribusikan tenaga dokter gigi secara merata di daerah-daerah melalui program Pegawai Tidak Tetap atau PTT seperti dulu tapi tetap memperhatikan kesejahteraan yang layak untuk mereka.

Program Nusantara Sehat yang ada sekarang sangat terbatas karena faktanya di daerah terpencil dan sangat terpencil prioritas mereka butuh dokter dan dokter gigi.

Namun jika hari ini  data menunjukkan adanya angka kesakitan gigi yang tinggi itu tidak hanya disebabkan oleh sebaran dokter gigi yang kurang akan tetapi lebih problematik dari itu adalah kurangnya perhatian khusus pemerintah terkait kesehatan gigi dan mulut masyarakat, hal itu terbukti dengan belum adanya alokasi anggaran khusus untuk aspek promotif dan preventif untuk kesehatan gigi dan mulut di Kementerian Kesehatan.

Patron kita dalam memberi pelayanan kepada masyarakat adalah pasien safety, bukan melangkah mundur dan menimbulkan masalah baru.

Dunia medis bukanlah dunia kompromi ketika berbicara tentang pelyanan kepada pasien.

Ada prosedur, ada standar alat kesehatan, standar kemampuan kompetensi yang semuanya telah dipelajari oleh seorang dokter gigi untuk bisa dianggap berwenang dan memiliki STR sebagai lisensi untuk merawat pasien.

Ada proses pendidikan dengan muatan kurikulum yang telah disahkan oleh kolegium kedokteran gigi sebagai standar pendidikan dokter gigi.

Ada proses panjang, bagaimana belajar sterilitas alat, anatomi manusia, obat-obatan yang semuanya dipelajari dalam kurung waktu cukup panjang.

Semua standarisasi itu tentu dibuat demi keselamatan pasien jika kelak mereka telah menjadi dokter gigi.

Penolakan Kebijakan

Dalam ruang diskusi di banyak tempat, di warung kopi, rumah sakit dan di grup-grup Whatshapp seakan-akan menjadi ruang-ruang perlawanan terhadap pola kebijakan Kementerian Kesehatan yang tidak partisipatif.

Keprihatinan civitas akademika dari berbagai kampus seperti Unhas, UI, Unpad dan lain-lain akhirnya membuahkan berbagai penyataan sikap.

Pola Kebijakan ini tidak menyisakan ruang-ruang diskusi yang akademis.

Dalam era reformasi saat ini ada hal kontradiksi ketika  sebuah kebijakan menyangkut hajat hidup orang banyak diselesaikan dengan terbitnya berbagai macam regulasi yang masih perlu pembahasan bersama.

Lemahnya data dan tinjauan akademis dalam sebuah regulasi tentu akan berdampak besar terhadap pembanguan kesehatan di Indonesia.

Keprihatinan komunitas profesor dari kampus-kampus sejatinya dipandang sebagai alarm agar tidak melangkah lebih jauh.

Ada sebuah ancaman berupa akibat yang tak terkendali jika hal ini dibiarkan.

Presiden Prabowo perlu melakukan evaluasi secara mendalam bahwa pekik suara dari kampus adalah suara-suara murni tanpa kepentingan, suara yang selama ini diam.

Namun, kini terpaksa berteriak karena ada 286 juta jiwa penduduk Indonesia yang dipertaruhkan jika gerak langkah pembangunan kesehatan dilakukan secara sporadis.

Kita perlu perubahan yang transformatif, yang tidak membuang capaian-capain masa lampau, namun berani berkata tidak untuk hal-hal yang tidak relevan untuk pembangunan kesehatan di Indonesia.

Semoga.(*)

 

 

 

 

Berita Terkini