Sesuai kebijakan pemerintah pusat, tidak ada lagi istilah honorer dalam data kepegawaian.
Kendati begitu, tenaga kebersihan masih tetap diperjuangkan kata mantan Kepala Dinas Pertanahan Kota Makassar tersebut.
Dari latar belakang pendidikan, mereka memang tidak memenuhi syarat untuk mendaftar PPPK.
Meski masa kerjanya sudah puluhan tahun namun pendidikan mereka hanya sampai SD bahkan ada yang sama sekali tidak mengenyam pendidikan.
"Mereka ini tenaga kebersihan, dari kualifikasi yang ada memang sulit untuk ikut PPPK, tidak memenuhi syarat dan tidak ada formasi yang bisa mereka daftari. Tapi kita tetap carikan solusi untuk mereka," ujarnya.
Salah satu opsi, menjadi tenaga semi outsourcing, dimana tenaga kerjanya akan disiapkan oleh perusahaan atau pihak ketiga.
Sementara untuk tenaga teknis, guru maupun tenaga kesehatan akan dikembalikan ke masing-masing OPD sesuai kebutuhannya.
Kata Akhmad Namsum, jika OPD ingin mempertahankan tenaga honorer tersebut maka dilakukan melalui pengadaan jasa per orangan.
"Pengadaannya lewat jasa per orangan di masing-masing OPD. Jadi nanti lewat ULP (untuk pengadaan) dan ada mekanismenya. Ini seperti yang diterapkan DKI Jakarta," jelasnya.
"Tapi kita sedang urus penguatan regulasinya di jakarta, yang kebersihan tentu akan tetap diharapkan," sambungnya.
Sementara itu, Anggota Komisi A Bidang Pemerintahan DPRD Makassar, Andi Hadi Ibrahim Baso mengungkap, beberapa honorer yang bertugas di sekretariat DPRD juga terdampak.
Ia menginstruksikan Pemkot Makassar untuk berkoordinasi dengan pemerintah pusat terkait masalah ini.
Pemutusan kontrak pegawai honorer harus dipertimbangkan, apalagi keuangan daerah masih mampu untuk membiayai insentif honorer setiap buka.
"Kami harap Pemkot segera komunikasi ini ke pemerintah pusat, jangan sampai ini menimbulkan masalah sosial, karena di DPRD sudah puluhan yang dirumahkan, " tutupnya. (*)