Sementara di China, konflik ini digunakan untuk menumbuhkan semangat nasionalisme dan kemandirian teknologi.
Media domestik dari kedua negara memainkan peran penting dalam membentuk opini sesuai dengan agenda pemerintahan masing-masing (Shirk, 2020).
Selain itu, terdapat dimensi teknologi yang menjadi medan baru dalam perang opini.
Larangan terhadap perusahaan teknologi seperti Huawei dan TikTok dengan dalih keamanan nasional, melainkan sebagai upaya membendung pengaruh teknologi digital China yang semakin berkembang pesat.
Ketegangan ini menggambarkan bagaimana teknologi menjadi simbol dominasi dan kekuatan dalam konteks geopolitik modern (Segal, 2019).
Konflik “perang dagang” menunjukkan bahwa batas antara kebijakan luar negeri dan opini global semakin kabur.
Diplomasi, opini, dan propaganda menjadi instrumen yang sah dalam menjalankan politik luar negeri.
Amerika Serikat dan China, bukan hanya bersaing dalam aspek militer dan ekonomi. Akan tetapi, kemampuan membentuk wacana global dan mengendalikan narasi, tentang siapa yang menjadi pemenang dalam sistem dunia yang terus berubah.
Dengan demikian, perang dagang Amerika vs China, tidak hanya dilihat sebagai peristiwa ekonomi. Melainkan sebagai gejala transformasi tatanan global, di mana pengaruh dan kekuasaan tidak lagi ditentukan oleh kekuatan militer atau ekonomi.
Akan tetapi, kemampuan mengontrol opini dan persepsi global.
Dunia saat ini, hidup dalam era dimana narasi menjadi senjata, dan opini menjadi medan tempur.(*)