Oleh: Abdul Gaffar
TRIBUN-TIMUR.COM - Tiba-tiba saja terjadi bentrokan antara satu kelompok dengan kelompok lainnya. Suasana kacau balau akibat serangan yang brutal dan tidak terduga-duga.
Inilah kejadian yang sudah lazim terjadi dan kita lihat di dalam masyarakat.
Kejadian selanjutnya biasa diikuti penangkapan oleh aparat keamanan. Urusan siapa yang salah atau benar diselesaikan di belakang.
Terkadang bentrokan antar kelompok akhirnya berhadapan dengan aparat yang diturunkan untuk menertibkan situasi yang kacau itu.
Lawan ‘tanding’ berubah. Tadinya hanya menggunakan batu atau alat lainnya, menjadi pentungan, gas air mata atau bahkan sampai terdengar letusan.
Negeri kita menghasilkan banyak cerita yang mengesankan. Ada suka dan duka. Menggembirakan dan menyedihkan.
Terkadang dan sering dibumbui darah dan air mata. Bahkan jika terjadi keadaan luar biasa, nyawapun menjadi taruhannya.
Cerita ini menjadi suatu bunga rampai kehidupan nyata. Penangkapan menjadi bagian tidak terpisahkan dari jalan cerita yang mungkin sudah diskenariokan sebelumnya.
Rangkaian cerita demi cerita tidak pernah habis dalam narasi yang berbeda. Misalnya pengkaplingan laut yang sudah lama terjadi di banyak tempat atau wilayah.
Bentangannya cukup panjang dan jauh tidak terlihat oleh aparat yang berwenang. Namum setelah ramai ramai diviralkan, barulah terlihat ada ‘gerakan’.
Presiden Prabowo memerintahkan Panglima TNI agar membersihkan ‘pagar laut’ di Tangerang. Perintah ini ditindaklanjuti pengerahan pasukan TNI AL dibantu oleh masyarakat.
Daerah-daerah lainnya belum terdengar adanya gerakan pembersihan pagar laut.
Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Nusron Wahid telah menonaktifkan bawahannya yang berkaitan dengan pagar laut.
Bahkan membatalkan SHGB Penguasa Laut di Tangerang.
Pertanyaan kritis, Penguasa Lautnya belum ada yang tertangkap! Hebatkah sang Penguasa Laut itu ? Siapa orang kuat di belakang Penguasa Laut itu?
Adakah usaha serius mengusut kasus yang meresahkan kedaulatan negeri kita ini?
Apakah ini sebagai langkah pembiaran yang disengaja karena kerja sama? Atau adakah ketakutan mengusutnya?
Seharusnya pemerintah tidak memiliki keraguan untuk bertindak tegas dan keras. Kepentingan bangsa dan negara harus di atas ‘segalak-galaknya’.
Persoalan tangkap-menangkap dapat dilakukan oleh jaksa, polisi, dan KPK. Tangkap, proses, dan tahan.
Dapat kita telusuri, siapakah yang paling banyak tangkapannya, apakah jaksa, polisi atau KPK. Kasus-kasus apa saja yang merupakan ranah kepolisian, kejaksaan, ataukah KPK.
Bicara penangkapan, idealnya ada proses yang jelas dan transparan. Ada kasus yang cepat terungkap. Tetapi tidak sedikit juga yang ’hilang’ dalam prosesnya. Cerita yang ada yakni
tangkap, proses, lepas. Tangkap kemudian lepas. Tangkap, proses, lalu tahan. Tangkap, proses, tahan, lalu lepas.
Ada cerita teman dari temannya bahwa temannya itu dikenal sebagai pengedar jenis obat terlarang.
Ketika ditangkap, entah diproses, langsung lepas. Ada juga yang ditangkap, diproses, ditahan hingga saat ini belum lepas. Ada juga yang ditangkap, lepas, lalu ditangkap lagi kemudian dilepas lagi.
Seandainya Hukum Tegak Lurus di atas Keadilan boleh jadi penjara akan penuh sesak.
Atau malah sebaliknya tidak ada penghuninya. Bisakah itu terjadi ? Mengapa tidak ? Boleh dicoba pilihan terbaik. Tetapi sayangnya, aparat kita masih perlu selalu diingatkan.
Tetapi sangat disayangkan lagi, jika diingatkan malah kita yang diberi sanksi untuk ditangkap.
Banyak pesoalan yang melilit kehidupan kita hingga dapat tertangkap dan terpenjara.
Begitu kompleksnya yang dihadapi sehingga terlihat sebagai lingkaran setan. Tidak jelas ujung pangkalnya.(*)