Semua siswa di Indonesia misalnya, ketika pertama kali dilaksanakan MBG ini, ada banyak keluhan yang datang dari siswa-siswi mengenai menu makanan, ada yang bilang daging ayamnya keras, tidak ada rasa, hambar dan sebagainya.
Jadi jika diganti lagi dengan menu makanan daerah, apakah siswa-siswi itu akan tertarik untuk menyantap makanan itu, atau justru nanti tidak akan dimakan dan akhirnya akan menjadi sampah dan menambah masalah baru.
Yang perlu diingat bahwa, tidak semua anaka-anak atau siswa di daerah pernah dan suka makan makanan daerah.
Apalagi anak-anak generasi Z dan anak-anak generasi alpha yang sekarang ini menjadi target program MBG ini.
Dari menu makanan ayam, telur, sayur, tempe, tahu dan nasi saja masih ada pengakuan dari mereka tidak menyukai, apalagi makanan dari olahan bahan pokok daerah yang mungkin jarang mereka makan.
Sampai di sini, jika saja anjuran untuk mengganti menu makanan dengan bahan-bahan pokok dari daerah masing-masing dieksekusi, pastinya bisa jadi akan ada banyak penolakan.
Penolakkan itu bisa dari segi gizi yang belum tentu memadai, belum teruji kandungan gizinya dan lebih lagi yang penting siswa-siswi bisa menolak untuk menyantap makanan tersebut.
Ini malah menjadi bumerang untuk program MBG ini sendiri dan akan menjadi bahan kritikan untuk pemerintah yang menjalankan program MBG.
Yang terjadi justru, gizi dan kesehatan tidak didapatkan, yang ada food waste dan sampah makanan yang akan bertambah.
Yang Penting Makan?
Ketika berhadapan dengan situasi seperti ini, pertanyaan besar yang akan muncul dalam benak setiap masyarakat Indonesia adalah bahwa apakah pemerintah benar serius dengan program MBG ini, atau pemerintah cuman merasa yang penting kasih makan saja siswa-siswinya?
Dari carut marut anggaran makanan yang pertama kali dianggarkan adalah 15.000 rupiah, kemudian turun menjadi 10.000 ribu rupiah.
Dari anggaran 10.000 itu saja sudah banyak pertanyaan besar dari para ahli gizi apakah menu yang disajikan akan berkualitas
untuk kesehatan anak-anak atau tidak.
Ini muncul lagi usulan untuk menggantinya dengan menu makanan dari bahan-bahan pokok daerah yang bisa jadi sekarang ini harganya sedang melambung tinggi di daerah masing-masing karena kurangnya ketersediaan barang dan bahan.
Sampai di sini, pemerintah jangan hanya berusaha untuk menjadikan program ini tetap bisa jalan dengan memberikan makanan yang tidak berkualitas, yang penting makan saja dan disantap oleh anak-anak.
Padahal mungkin menu makanan nya pun tidak akan dimakan oleh anak-anak.