TRIBUN-TIMUR.COM, MAROS - Abdul Haris (40) resmi diberhentikan sebagai guru di Pesantren Hj Haniah, Kecamatan Simbang, Kabupaten Maros.
Haris dipecat usai diduga melakukan pelecehan terhadap 20 santriwati saat menyetorkan hafalan.
Pimpinan Pondok Pesantren, Muhammad Arif, juga menyesalkan tindakan dari oknum guru tersebut.
"Kami sangat menyesalkan tindakan oknum tersebut sehingga kami telah mengambil langkah tegas dengan memberhentikan oknum itu. Kejadian ini sangat disesalkan," ujarnya.
Arif mengatakan, untuk mencegah kejadian serupa, pihak ponpes telah merencanakan beberapa langkah termasuk perubahan sistem pengajaran dan interaksi antara guru laki-laki dan santriwati.
"Insyaallah ke depan, kami berupaya agar setoran hafalan sharaf, tidak lagi dilakukan dihadapan guru laki-laki. Nantinya, santri perempuan akan ke guru perempuan," kata Arif.
"Kami juga akan memastikan tidak ada lagi interaksi langsung yang bersentuhan antara guru laki-laki dan santri perempuan," sambungnya.
Arif juga menyampaikan pesan kepada para orang tua santri agar tetap tenang dan tidak khawatir terhadap keamanan anak-anak mereka di lingkungan pesantren.
"Insyaallah, kami menghimbau kepada seluruh orang tua santri agar tidak merasa khawatir. Kasus ini sudah masuk ke ranah hukum, dan oknumnya telah ditangani. Untuk saat ini, kami memastikan situasi di pesantren aman dan tidak ada lagi masalah," tegasnya.
Baca juga: Abdul Haris Resmi Ditahan Malam ini, Usai Lecehkan 20 Santriwati
Selain itu, Arif menambahkan pihak pesantren tersebut juga telah melakukan diskusi internal bersama pengurus yayasan untuk membahas langkah-langkah perbaikan pengawasan mereka kepada santri.
"Kami telah bertemu dengan pengurus yayasan dan apa yang saya sampaikan tadi akan segera dilaksanakan. Pihak yayasan juga merespons positif upaya pencegahan ini," tutupnya.
Diketahui Abdul Haris resmi ditahan di Mapolres Maros, Kamis (5/12/2024) malam.
Kasat Reskrim Polres Maros, Iptu Aditya Pandu menyebutkan terduga pelaku Abdul terancam penjara maksimal 15 tahun.
Selain hukuman penjara, Abdul juga terancam denda maksimal Rp5 miliar.
Terduga tersangka dijerat pasal 82 Ayat (1) dan Ayat (2) Jo. Pasal 76E Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, memiliki kaitan dengan perlindungan anak dan peraturan terkait tindak pidana yang dapat terjadi dalam konteks perlindungan anak.
“Hukuaman penjara paling singkat 5 tahun maksimal 15 tahun dan denda maksimal Rp5 miliar,” bebernya.
Ia menjelaskan sudah ada sekitar 8 saksi yang diperiksa atas kasus ini, termasuk orang tua korban.
“Sejauh ini ada 6 orang perwakilan korban yang dimintai keterangan, dan masih ada korban lainnya yang akan dimintai keterangan,” sebutnya.
Pandu mengatakan pelecehan seksual ini terjadi pada tanggal 4 November lalu.
Namun, baru diketahui oleh orang tua korban beberapa waktu terakhir.
Sempat Dimediasi
Kepala Kementerian Agama Maros, Muhammad, mengungkapkan lokasi pelecehan terhadap 20 santriwati di Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan.
Muhammad menyebutkan insiden tersebut terjadi di Pesantren Hj Haniah, Kecamatan Simbang.
“Lokasinya di Pesantren Hj Haniah, kami telah mengkonfirmasi kepada pihak pesantren, kejadiannya itu bulan November lalu,” ujarnya, Jumat (6/12/2024).
Ia mengatakan, sebelum terungkap ke publik, pihak pesantren telah mencoba langkah mediasi antara guru dan orang tua santri.
“Setelah dimediasi, sebenarnya sudah selesai, namun ada orang tua dari santri yang keberatan dan akhirnya melapor ke polisi,” sebutnya.
Muhammad menjelaskan, dari keterangan pihak pesantren, diketahui bahwa Abdul Haris (40), yang mengajarkan bahasa Arab, memang memiliki kebiasaan menepuk pundak santri jika hafalan yang disetorkan tidak cukup.
“Saat menyetor hafalan, santriwati itu tidak sendiri, selalu bersama temannya, dan sang ustad itu hanya menepuk-nepuk. Mungkin saat ditepuk itu kena bagian vital,” bebernya.
Muhammad menegaskan bahwa Abdul Haris kini telah dikeluarkan dari pesantren tak lama setelah kejadian ini.
“Ustad ini bukan ASN, tapi tenaga honorer dan sudah tidak aktif. Yang diajarkan bukan hafalan Al-Qur'an dan tahfiz, melainkan bahasa Arab,” imbuhnya.
Ia menuturkan seharusnya dalam suatu pesantren, santriwati diajar oleh guru perempuan.
“Makanya, pihak kami meminta agar seluruh pondok pesantren di Kabupaten Maros agar lebih profesional,” tutupnya.
Lapor Balik
Wakil Ketua Umum Pengurus Wilayah Darud Dakwah Wal Irsyad Sulawesi Selatan atau PW DDI Sulsel, Nurhasan, kaget membaca berita terkait pondok pesantren di Maros, kampung halamannya.
Dalam berita itu disebutkan, seorang guru pesantren di Maros dilapor ke polisi atas tuduhan mencabuli santriwati saat menyetor hafalannya.
Polisi yang menyelidiki laporan itu mengatakan santriwati korban pencabulan kini bertambah jadi 20 orang.
"Korban semuanya 20 orang," ujar KBO Satreskrim Polres Maros Iptu Mukhbirin, Rabu (4/12/2024).
Nurhasan mengaku tersentak membaca berita itu. Apalagi mantan Ketua PBHMI itu juga alumnus Ponpes DDI Mangkoso.
Laporan polisi tersebut awalnya dibuat oleh orang tua santriwati di Polres Maros, pada Senin (2/12). Pihak pelapor telah mendatangi Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Polres Maros untuk diambil keterangannya pada Rabu (4/12).
“Saya sudah telepon pimpinan pondok itu. Ternyata faktanya, sesuai penjelasan beliau, tidak seperti yang ada dalam berita media online itu,” jelas Nurhasan via telepon, Kamis 5 Desember 2024.
Pimpinan Pondok itu menegaskan ke Nurhasan bahwa tidak ada pelecehan terhadap para santri.
“Faktanya, para santri itu dicubit oleh gurunya saat menyetorkan hapalan pelajaran nahwu-sharaf, jadi bukan hapalan Alquran. Mereka pun menyetor hapalan berkelompok hingga 20-an orang,” jelas Nurhasan.
Menurutnya tindakan seperti itu lumrah di pesantren.
“Makanya kami minta kepada orangtua santri, pahami dengan baik dan bijak sistem pendidikan di pesantren,” tegas Nurhasan.
Mantan calon Bupati Maros itu mengaku menyarankan kepada pimpinan pesantren agar melaporkan balik pelapor kejadian itu ke polisi.
“Laporan itu sangat mencemarkan nama baik pesantren,” tegas Nurhasan.