c. Bahwa atas dasar kenyataan ini muncul pertanyaan di masyarakat, di antaranya dari Badan Wakaf Indonesia (BWI), tentang bagaimana status hukum tanah yang di atasnya ada bangunan masjid, apakah harus wakaf atau tidak;
d. Bahwa Komisi Fatwa MUI memandang perlu menetapkan fatwa tentang status tanah yang di atasnya ada bangunan masjid sebagai pedoman.
MENGINGAT:
Firman Allah SWT:
"Sesungguhnya masjid-masjid itu adalah milik Allah Ta’ala". QS. Al-Jin: 18.
Hadits-hadits Nabi SAW, antara lain:
Dari Ibnu Umar r.a. bahwa sesungguhnya Umar mendapatkan tanah di Khaibar, kemudian Umar berkata: Ya Rasulullah SAW, aku telah mendapatkan tanah di Khaibar, dan aku belum pernah mendapatkan harta yang lebih berharga dari tanah tersebut, maka apakah yang Engkau perintahkan padaku? Kemudian Rasulullah SAW bersabda: Jika engkau mau tahanlah asalnya dan sedekahkan (manfaatnya), maka Umar menyedekahkannya. Untuk itu tanah tersebut tidak dijual, tidak dihibahkan, dan tidak diwariskan. Sedekah tersebut diperuntukkan bagi orang-orang fakir, keluarga dekat, memerdekakan budak, untuk menjamu tamu, dan untuk orang yang kehabisan bekal dalam perjalanan. Tidak mengapa orang yang menguasainya (nazhirnya) makan sebagian dari padanya dengan baik dan memberi makan (kepada keluarganya) dengan syarat tidak dijadikan sebagai hak milik. HR. Jama’ah.
Anas bin Malik r.a. meriwayatkan bahwa: "Setelah Rasulullah SAW tiba di Madinah, beliau menyuruh membangun masjid. Rasulullah SAW mengatakan: Hai Bani An-Najjar, juallah kebun (tanah) kalian ini dengan menentukan harganya? Bani Najjar menjawab: Tidak, demi Allah, kami tidak menjualnya kecuali (kami hanya mengharapkan) pahala dari Allah (dengan mewakafkannya). Kemudian Rasulullah SAW menyuruh menggali kuburan orang-orang musyrik dan bekas bangunan di tanah tersebut untuk meratakan tanahnya. Mereka letakkan pohon kurma sebagai tanda arah kiblat masjid."HR. Al-Bukhari.
MEMPERHATIKAN:
Pendapat para ulama, antara lain:
Pendapat al-Imam Abi al-Barakat Abdullah bin Ahmad bin Mahmud an-Nasafi dalam kitab Kanz Al-Daqaiq (5/258): "Orang yang membangun masjid tetap menjadi pemilik masjid yang dibangunnya tersebut, sampai ia lepaskan masjid tersebut dari kepemilikannya beserta jalan masuk ke masjid (mewakafkannya) dan ia izinkan shalat di masjid tersebut. Apabila ada orang yang shalat di dalamnya, meskipun satu orang saja, maka lepaslah masjid tersebut dari kepemilikannya."
Pendapat al-Imam Zainuddin Ibnu Nujaim dalam kitab al-Bahru al-Raiq Syarh Kanz al-Daqaiq: "Maksud dari perlunya melepaskan kepemilikan masjid (dengan mewakafkannya), karena tidak ada cara untuk menjadikan masjid hanya untuk Allah Ta’ala selain dengan cara itu. Sedangkan maksud dari perlunya melakukan shalat di masjid tersebut karena wakaf, menurut Abu Hanifah dan Muhammad, harus diserahkan kepada mauquf ‘alaihi (pihak yang diberi wakaf/umat Islam), yaitu dengan melakukan shalat di masjid tersebut."
Pendapat Imam Malik dalam kitab Al-Mudawwanat (4/259): "Saya (Sahnun) bertanya (kepada Ibnu Qosim): 'Apakah orang yang membangun masjid di rumahnya atau membangunnya di luar rumahnya, tetapi di tanahnya, bukan di rumahnya, boleh menjual masjid yang dibangunnya tersebut?' Ibnu Qosim mengatakan: Imam Malik mengatakan: 'Orang tersebut tidak boleh menjual masjid yang dibangunnya tersebut, karena - menurut hemat saya - masjid adalah habs/wakaf'."
Pendapat Al-Ramly dalam kitab Nihayah al-Muhtaaj ila Syarhi al-Minhaj (5/394): "Dalam pelajaran tentang wakaf, timbul pertanyaan tentang apa yang dapat dilakukan terhadap pohon-pohon yang sudah mati di halaman masjid dan tidak diketahui dengan jelas statusnya apakah wakaf atau tidak? Jawabnya ialah: menurut lahiriahnya, pohon yang ditanam di masjid adalah wakaf. Karena para Ulama ahli fiqh menjelaskan dalam pembahasan tentang ash-shulhu bahwa hukum penanaman pohon di masjid adalah boleh, jika tujuannya untuk kepentingan kaum muslimin secara umum. Jika tujuannya hanya untuk kepentingan penanamnya sendiri, hukumnya tidak boleh, meskipun pohonnya tidak mengganggu masjid."
Pendapat Abu Thahir, Al-Mutawally, dan Al-Baghawi sebagaimana disampaikan oleh al-Imam al-Nawawi dalam kitab Raudhah Al-Thalibin wa ‘Umdatu al-Muftiin (5/387): "Al-Ustadz Abu Thohir, Al-Mutuwally, dan Al-Baghowy, menetapkan bahwa bunyi ikrar wakaf masjid seperti tersebut tidak membuat tempat atau bangunan tersebut menjadi masjid. Karena ikrar tersebut tidak mengandung kata (pemberian) wakaf. Al-Ustadz Abu Thohir, mengatakan: 'Kalau pemberi wakaf masjid tersebut menyebutkan dalam ikrar wakafnya sbb.: "Saya jadikan tempat ini masjid karena Allah Ta’ala", maka tempat yang diwakafkannya tersebut menjadi masjid.'"