Kabinet Prabowo

2 Nama Ponakan Prabowo Subianto Masuk, Daftar Terbaru Nama Calon Menteri

Editor: Edi Sumardi
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Rahayu Saraswati dan Budisatrio Djiwandono (kiri dan kanan), 2 bakal calon menteri di kabinet Prabowo-Gibran. Keduanya merupakan ponakan Prabowo Subianto.

Menteri Perdagangan: Zulkifli Hasan

Menteri Pertanian: Andi Amran Sulaiman

Menteri Lingkungan Hidup: Budisatrio Djiwandono

Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi: Bambang Eko S.

Wakil Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi: Habiburokhman

Menteri Desa, Daerah Tertinggal dan Transmigrasi: Budiman Sudjatmiko

Wakil Menteri Desa, Daerah Tertinggal dan Transmigrasi: Dedy Permadi

Menteri Tata Ruang, BPN dan Kehutanan: Agus Harimurti Yudhoyono

Wakil Menteri Tata Ruang, BPN dan Kehutanan: Raja Juli Antoni

Menteri BUMN: Sakti Wahyu Trenggono

Wakil Menteri BUMN: T Helmi

Menteri Kelautan dan Perikanan: TB Heru Rahayu

Wakil Menteri Kelautan dan Perikanan: M. Riza Damanik

Menteri Pemuda dan Olahraga: Dito Ariotedjo

Wakil Menteri Muda Pemuda dan Olahraga: Arief Rosyid Hasan

Menteri Koperasi, UMKM dan Pasar Tradisional: Maruarar Sirait

Wakil Menteri Koperasi, UMKM dan Pasar Tradisional: Sudaryono

Menteri Sekretaris Pengendalian Pembangunan: Roberto Lumban Gaol

Kepala BIN: I Nyoman Cantiasa

Kepala Badan Pangan Nasional: Arief Prasetyo Adi

Kepala Badan Gizi Nasional: Dadan Hindayana

Kepala Badan Penerimaan Negara: Bambang Brodjonegoro

Kepala Staf Kepresidenan: Nusron Wahid

Dua nama bakal calon menteri, yakni Rahayu Saraswati dan Budisatrio Djiwandono merupakan keponakan Prabowo.

Aturan penambahan jumlah kementerian

Sebelumnya, wacana pembentukan 40 kementerian datang dari Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara Hukum Administrasi Negara.

Asosiasi tersebut mengusulkan penambahan kementerian baru untuk memenuhi keseluruhan urusan pemerintah.

Karena itu, pengaturan jumlah kementerian perlu ditinjau ulang.

Asosiasi ini mengusulkan perlu dibentuk Kementerian Pangan Nasional, Kementerian Perpajakan dan Penerimaan Negara, Kementerian Pengelolaan Perbatasan dan Pulau Terluar, serta Kementerian Kebudayaan.

Terkait hal tersebut, Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Habiburokhman menilai penambahan jumlah menteri merupakan hal wajar.

Pasalnya, Indonesia merupakan negara besar yang butuh pemerintahan besar dan banyak kementerian sehingga bisa menguntungkan warganya. Namun, dia membantah hal ini sebagai bagian dari upaya bagi-bagi kursi di kabinet di antara partai politik.

"Ya itulah kesalahan cara berpikir, enggak apa-apa, jadi masukan bagi kami. Jangan sampai hanya sekadar untuk mengakomodir kepentingan politik," kata Habiburokhman.

Sebagai perbandingan, presiden ketujuh Indonesia Joko Widodo saat ini memiliki 30 kementerian bidang dan 4 kementerian koordinator dalam Kabinet Indonesia Maju.

Lalu, bisakah presiden Indonesia membentuk kabinet dengan 40 kementerian?

Pakar hukum administrasi negara Universitas Gadjah Mada (UGM) Richo Andi Wibowo mengungkapkan, jumlah kementerian yang dapat dibentuk oleh presiden diatur dalam Pasal 15 UU Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara.

"UU Kementerian Negara membatasi jumlah kementerian menjadi maksimal 34 buah," katanya, Selasa (7/5/2024).

Richo menyatakan, ketentuan ini dibuat untuk memastikan pemerintahan berjalan efektif serta membuat isu-isu serumpun dapat diatur dalam satu kementerian.

Dia menilai hal tersebut sesuai semangat reformasi birokrasi dan mencegah regulasi dibentuk berdasarkan ego sektoral.

Karena itu, dia menyerukan kabinet baru tidak boleh sengaja membentuk koalisi yang "gemuk" untuk menjamin kepentingan politik terpenuhi.

"Jangan sampai pemerintah daerah disuruh efektif, tapi pemerintah pusat malah tidak efektif. Jangan sampai birokrat disuruh netral, tapi presiden dan menteri mempertunjukkan ketidaknetralan dengan gamblang," tutur dia.

Terkait aturan diubah untuk memenuhi keinginan penambahan menteri, Richo menyebut UU Kementerian Negara memang dapat diubah.

Namun, dia menanyakan urgensi perubahannya.

"Apa alasan hukum dan konseptual mengubah norma kuncian di atas? Apa bukti-bukti empirisnya, termasuk apa bukti bahwa perubahan ini bukan untuk kepentingan politik sesaat saja?" tanyanya.

Tanpa alasan jelas, lanjut dia, perubahan UU Kementerian Negara dinilai terkesan mengada-ada. Richo menyebut, perubahan ini akan cacat legitimasi sosial. 

Pakar hukum tata negara sekaligus pendiri Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK), Bivitri Susanti membenarkan UU Kementerian Negara mewajibkan kabinet hanya berisi maksimal 34 menteri.

"Tidak bisa tidak (maksimal 34 menteri). (Kalau ingin 40 menteri) harus mengubah undang-undangnya dulu. Tidak ada delegasinya dalam Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden," jelas dia.

Bivitri menambahkan, pemerintahan Jokowi sayangnya mungkin mengubah undang-undang dalam waktu singkat.

Hal ini bisa dimanfaatkan untuk mengubah UU Kementerian Negara sehingga jumlah kementerian lebih dari 34 jelang pembentukan kabinet. Dia melanjutkan, perubahan UU sesungguhnya diatur dalam UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

Jika sesuai aturan itu, terdapat tahapan yang harus dipenuhi untuk mengubah UU.

Dalam asas itu, ada lima tahap pembentukan peraturan perundang-undangan yang berlaku yakni perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan, dan pengundangan.

"Suatu UU, kalau tidak ada di Prolegnas (Program Legislasi Nasional) dan Prolegnas Tahunan, itu tidak ada. UU Kementerian Negara itu jelas tidak ada sehingga tidak bisa tiba-tiba dibahas," tegas Bivitri.

Di sisi lain, saat ini tidak ada waktu yang cukup untuk mengubah UU Kementerian Negara sebelum kabinet baru disahkan.

Pengesahan kabinet dilakukan usai presiden terpilih dilantik, yaitu pada Oktober mendatang.

Selain itu, pilkada serentak akan terlaksana pada November 2024. Bvitri menilai, banyak anggota DPR selaku pembuat UU akan sibuk mengurusi pilkada.

Dia juga menekankan tidak boleh ada proses perubahan perundang-undangan yang mengubah sistem ketatanegaraan secara signifikan pada masa transisi perubahan pemerintahan seperti sekarang.

Sayangnya, Bivitri tak memungkiri perubahan UU pada masa pemerintah Jokowi dapat dilakukan dalam waktu cepat.

Dia mencontohkan Revisi UU KPK dibuat dalam waktu dua minggu atau Revisi UU Pertambangan Mineral dan Batubara hanya dalam enam hari kerja. "Tidak ada yang tak mungkin dalam masa pemerintahan Pak Jokowi," ungkapnya.

Dia menambahkan, UU Kementerian Negara tidak boleh diubah pada masa transisi pemerintahan dari Jokowi ke presiden terpilih Prabowo secara etika.

Sayangnya, dia menilai, etika kurang diperhatikan oleh pemerintahan sekarang. Di sisi lain, Bivitri menyebut UU Kementerian Negara dapat diubah saat kabinet baru sebentar lagi ditetapkan jika diajukan ke Mahkamah Konstitusi.

Hal sama terjadi pada UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum yang mengubah batas usia calon wakil presiden.

"Yang saya dengar, sudah ada kelompok-kelompok yang siap-siap untuk menjadi pemohon ke Mahkamah Konstitusi supaya (jumlah maksimal kementerian) diubah dari 34 menjadi 40 atau 39," ungkap dia.

Meski tidak mungkin dilakukan sesuai UU Kementerian Negara yang kini berlaku, Bivitri menegaskan peraturan itu berpotensi besar berubah hanya dalam waktu singkat jika diajukan ke Mahkamah Konstitusi.(*)

Berita Terkini