Ulik Kekayaan Legislator Sulsel

Pengusaha Jadi Legislator Sulsel, Harta Kekayaan Naik

Penulis: Edi Sumardi
Editor: Edi Sumardi
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Pelantikan anggota DPRD Sulsel periode 2019-2024 di Gedung DPRD Sulsel, Jl Urip Sumoharjo, Makassar, Sulsel, Selasa (24/9/2019). Sebagian legislator provinsi ini adalah pengusaha.

Sama seperti 2 dan 3 tahun sebelumnya, harta kekayaan Edward kembali naik.

Namun, kali ini angka kenaikan mencapai 3,2 miliar atau naik dari Rp 16 miliar menjadi Rp 19,2 miliar.

Kenaikan dipicu dari naiknya nilai tanah dan bangunan serta kas dan setara kas dari Rp 1,4 miliar ke Rp 2,8 miliar.

Seluruh kenaikan nilai harta kekayaan terjadi saat dia menjabat Ketua Fraksi Partai Gerindra DPRD Sulsel.

Dalam LHKPN periode 2018, 2019, 2020, 2021, hingga 2022, Edward melaporkan memiliki 7 bidang tanah dan bangunan yang tersebar di Jakarta Utara dan Makassar.

“Saya kan punya usaha rumah makan. Jadi sumbernya (kekayaan) dari situ selain dari gaji anggota dewan. Belum lagi NJOP (Nilai Jual Objek Pajak) naik terus. Coba lihat, yang naik adalah nilai tanah dan bangunan. Tidak bertambah, tapi nilainya naik,” kata Edward saat dikonfirmasi, Selasa (30/1/2024).

Di Makassar, keluarga Edward dikenal sebagai pemilik restoran seafood dan restoran makanan khas Jepang, kafe, dan distributor semen.

Usahanya tersebar di beberapa tempat.

Sama dengan Edward, harta kekayaan Rezki juga melonjak saat dia menjabat Bendahara Fraksi Partai Nasdem DPRD Sulsel.

Pada tahun 2020 harta kekayaannya Rp 3,68 miliar dan naik Rp 1,84 miliar miliar pada tahun 2022 atau menjadi Rp 5,52 miliar.

Kenaikan harta kekayaan putri Wakil Bupati Soppeng Lutfi Halide itu dipicu dari harta tak bergerak.

Tribun-Timur.com beberapa kali menghubungi Rezki melalui sambungan telepon, namun dia tak merespon.

Informasi yang diperoleh, dia sedang menunaikan ibadah umrah.

Beda dengan Debbie, Edward, dan Rezki, harta kekayaan legislator lainnya hanya bertambah ratusan juta hingga Rp 1 miliar dalam setahun.

Ini hampir sama dengan total nilai gaji dan tunjangan mereka dalam setahun.

Gaji dan tunjangan anggota DPRD Sulsel per bulan mencapai Rp 71 juta sebagaimana diatur dalam PP Nomor 18 Tahun 2017 dan Perda Nomor 5 Tahun 2017 tentang Hak Keuangan dan Administratif Pimpinan dan Anggota DPRD.

Setahun total nilai gaji dan tunjangan wakil rakyat di Sulsel sekitar Rp 850 jutaan.

Dari dapil Makassar A, hanya Rachmatika, Debbie, Edward, dan Imam memiliki harta kekayaan di atas Rp 10 miliar.

Sementara 5 legislator lainnya hanya memiliki harta kekayaan antara Rp 3 miliar hingga Rp 8 miliar.

Beda dengan di dapil Makassar A, di dapil Makassar B, tak ada seorang pun legislator memiliki harta kekayaan di atas Rp 10 miliar.

Haslinda dari PKS menjadi legislator terkaya di dapil Makassar B dengan nilai harta kekayaan Rp 7,5 miliar, disusul Rezki dengan nilai harta kekayaan Rp 6,9 miliar.

Dimintai tanggapan, Ketua Yayasan Komite Pemantau Legislatif (Kopel) Indonesia, Herman mengatakan, jika lonjakan harta kekayaan tersebut tak wajar maka dapat ditelusuri dari mana sumbernya.

“Bisa jadi kekayaan dimiliki bukan semata-mata dari penghasilan karena jabatannya. Bisa jadi dari sumber lain,” kata Herman, Selasa (23/1/2024).

Dia menyarankan kepada KPK untuk menelusuri sumber kekayaan penyelenggara negara di DPRD Sulsel.

Kopel tak mempersoalkan jika mereka yang harta kekayaannya melonjak karena menjalankan bisnis pribadi.

Namun, yang menjadi masalah adalah jika jabatan itu dimanfaatkan untuk kepentingan bisnis.

“Tugas dan tanggung jawabnya sebagai anggota DPRD kalau dia juga menjalankan bisnis,” ujar Herman.

Sependapat dengan Herman, pengamat politik dari Universitas Hasanuddin (Unhas), Andi Ali Armunanto saat diwawancarai pada hari yang sama mengatakan, wajar jika lonjakan kenaikan harta anggota dewan karena bersumber dari bisnis.

“Tidak selamanya anggota DPRD pekerjaannya hanya anggota dewan saja, ada juga pengusaha. Wajar jika harta kekayaannya naik. Bisa saja dari hasil usaha sampingannya,” ujar Ali.

Namun, menjadi soal jika kekuasaannya di lembaga legislatif dimanfaatkan untuk kepentingan bisnis.

“Kecuali kalau memang terbukti menyelewengkan kekuasaan,” ujarnya.

Sementara, pengamat politik lainnya dari Unhas, Adi Surya Culla menilai, seharusnya tak hanya legislator yang melonjak harta kekayaannya saat menjabat disorot.

Mereka yang harta kekayaannya tak naik signifikan atau malah menurun pun patut dicurigai sebab banyak modus bagi penyelenggara negara untuk memainkan data di LHKPN.

“Contoh saja, Firli Bahuri mantan Ketua KPK, punya rumah di Kertanegara, Jakarta Selatan, tapi tak dimasukkan di LHKPN. Baru ketahuan ke publik setelah digeledah. Ini contoh dari mantan Ketua KPK. Bagaimana dengan penyelenggara negara lainnya,” kata Adi di kantor Tribun-Timur.com, Rabu (31/1/2024).

Sementara, bagi yang menurun harta kekayaannya, menurut Adi, mungkin saja ada cost politik mahal harus dibayarkan saat menjabat atau biaya dikeluarkan saat kampanye terlampau banyak.

Namun, itu bisa terbayarkan dalam bentuk lain ketika menjabat.

‘Contohnya, Sandiaga Uno. Dia pernah mengatakan uangnya hampir habis Rp 1 triliun saat jadi cawapres pasangan Prabowo, tapi setelah itu dia jadi menteri,” ujar Adi.

Lebih lanjut, menurut Adi, tak mungkin seseorang jadi anggota dewan jika kemudian membuatnya jadi miskin.

Menjadi legislator, selain mendapatkan gaji dan tunjangan, juga bisa memainkan berbagai kebijakan yang bisa menguntungkan diri maupun kelompoknya.

“Bisa untuk kepentingan bisnisnya. Makanya sekarang dibutuhkan legislator berintegritas. Bagaimana dia jujur dalam melaporkan harta kekayaannya,” kata Adi.(bersambung)

Baca tulisan berikutnya Alasan Pengusaha Jadi Legislator Walau Kekayaan Puluhan Miliar

Berita Terkini