Hingga ketika ia menginisiasi berbagai program sosial; ia banyak mendapatkan banyak dukungan dari bangsawan lain.
Pendirian sekolah Muhammadiyah yang diinisiasi oleh Moentoe juga berjalan dengan baik.
Moentoe mendapatkan tanah wakaf untuk pendirian sekolah dari familinya yang bernama Andi Hilal Karaengta Ujung; di samping itu, sekolah ini juga banyak mendapatkan dukungan dari tokoh-tokoh yang ada di Labakkang, di antaranya Sayyed Hamid yang nanti juga banyak membantu masalah keuangan.
Sekolah yang dibangun oleh Moentoe ibarat angin segar bagi masyarakat terjajah di Labakkang.
Berkat sekolah tersebut, masyarakat yang terbelakang sedikit demi sedikit menjadi berkemajuan.
Apatah lagi, berkat kemajuan pendidikan, Moentoe selalu mendatangkan tokoh-tokoh dari luar untuk ikut mengajar, di antaranya Buya Hamka yang merupakan sahabatnya sendiri.
Sekolah yang didirikan oleh Moentoe melalui gerakan Muhammadiyah semakin hari semakin berkembang.
Selain terus menginisiasi gerakan pendidikan lokal seperti pengajaran agama melalui Muhammadiyah dan membuka pelajaran Al-Qur’an yang tersebar di beberapa titik dengan memanfaatkan kolom rumah keluarganya.
Moentoe juga berusaha mengirimkan anak-anak Labakkang keluar dari kampugnya untuk belajar ke tempat lain, seperti Makassar dan Yogyakarta.
Ikut Mendirikan Universitas Muslim Indonesia
Indonesia Timur di awal-awal kemerdekaan tidak memiliki universitas sebagai wadah pendidikan tinggi bagi para generasi.
Para bangsawan dan raja juga meresahkan kondisi tersebut karena akan berakibat pada ketertinggalan pendidikan, apalagi Makassar sebagai pusat Indonesia Timur sama sekali belum memiliki universitas Islam sedang penduduknya mayoritas muslim.
Ide pendirian universitas di awal tahun 50-an tersebut semakin bergulir.
Raja-raja dan bangsawan terpandang seperti Andi Mappanyukki (raja Bone), Andi Ijo (raja Gowa), Andi Djemma (raja Luwu) mulai dihubungi oleh masyarakat.
Hingga akhirnya, menindaklanjuti ide yang berkembang tersebut dibentuklah Wakaf Pembangunan Universitas Muslim Indonesia pada 18 Februari 1953 yang dipercayakan kepada Sutan Muhammad Yusuf sebagai ketua umum, H. Andi Sewang Dg. Muntu sebagai ketua I dan Naziruddin Rahmat sebagai ketua II.