Opini

Merdeka dan Berbudaya

Editor: Sudirman
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Sopian Tamrin, Dosen Sosiologi Universitas Negeri Makassar

Ia juga bermakna simbolis ketika dianalogikan sebagai pakaian.

Sebagaimana yang kita tahu, bahwa budaya Itu bisa menampak tersirat dengan maknanya masing-masing.

Korupsi sebagai ironi kebudayaan

Selain itu, budaya dan moral mesti dilihat sepertalian dengan aspek sosial dan politik.

Artinya semakin kental ‘budaya baik’ masyarakat semakin jauh pula perilaku buruknya darinya.

jika melihat data yang ada sepertinya cara berbudaya kita patut disangsikan.

Mari lihat kasus korupsi di negeri kita! Dilansir dari data Indonesia (2022) bahwa terjadi peningkatan kasus korupsi di Indonesia dari 533 tahun 2021 menjadi 579 pada 2022.

Sektor desa menjadi fokus utama korupsi dengan 155 kasus, menyumbang 26,77 persen dari total kasus yang ditangani.

Selain itu, sektor utilitas (88 kasus), pemerintahan(54 kasus), pendidikan (40 kasus), sumber daya alam (35 kasus), dan perbankan (35 kasus) masing-masing pada tahun yang sama.

Merespons catatan peningkatan kasus korupsi di atas, tampaknya ada ironi di sini.

Meskipun upacara dengan pakaian adat mencerminkan keberagaman budaya, data kasus korupsi yang meningkat justru menunjukkan ketidakseimbangan moral dan integritas di dalam bangsa.

Tingginya kasus korupsi menandakan kerentanan dalam implementasi budaya sebagai panduan perilaku kolektif.

Kita seharusnya merenung untuk mengkhidmati bagaimana budaya seharusnya menjadi pilar moral dalam kehidupan sehari-hari dan pemerintahan.

Kita seringkali menyatakan dengan bangga sebagai bangsa yang berbudaya lagi bertuhan.

Tapi bukankah mereka menjadi pelaku korupsi, dan kejahatan hukum telah disumpah di bawah kitab suci? Perilaku semacam itu bukan saja tidak berbudaya tetapi juga tidak bertuhan.(*)

Berita Terkini