Oleh: Sopian Tamrin
Dosen Sosiologi Universitas Negeri Makassar
Perhatian saya tertuju pada pada file yang dikirim pimpinan di GWA. Saya menebak isi filenya : undangan upacara HUT kemerdekan ke-78 RI.
Saya membaca keterangan drescodenya; peserta upacara memakai busana adat tradisional.
Lalu, Apakah yang ingin disampaikan dengan memakai pakaian adat itu?
Beberapa tahun terakhir upacara menjadi rutinitas yang menampakkan ragam wajah lokalitas di Nusantara.
Apa yang dilakukan pemerintah patut diapresasi.
Tentu hal tersebut bagian dari upaya menghidup-hidupkan nuansa keragaman sebagai bangsa yang multikultural.
Paling tidak, mengajak kita kembali melihat asal muasal Indonesia.
Hal semacam ini juga bisa membangkitkan imajinasi kolektif masyarakat, tentang kita yang beragam, tapi dalam satu rajutan Indonesia.
Selain itu, anjuran memakai baju adat bisa menukik alam sadar, dan meneguhkan jiwa.
Namun, apakah cara semacam itu betul-betul sejalan - seirama dengan praktik keseharian kita, khususnya dalam konteks berbangsa dan bernegara.
Atau sebatas hiasan dan kebutuhan kemeriahan acara semata.
Budaya baiknya tertanam ke dalam palung batin, bagian yang paling dalam, bukannya di luar tubuh, apalagi kalau sekedar menutupi tubuh.
Anomali kebudayaan dalam bernegara
Pentingnya perhatian pada budaya sejatinya adalah cerminan dari kesungguhan sebuah bangsa.
Namun, apakah kita hanya akan memahami budaya sebagai «pakaian» yang dikenakan pada suatu peristiwa, atau apakah kita benar-benar membiarkannya meresap dalam jiwa dan tindakan sehari-hari?
Budaya seharusnya menjadi panduan moral yang mewujud dalam perilaku dan sikap sehari-hari, bukan sekadar pertunjukkan visual.
Terus, bagaimana praktik budaya dalam konteks bernegara? Untuk itu, kiranya penting mengukur sejauhmana dukungan pemerintah terhadap masyarakat dalam praktik kebudayaan.
Misalnya bagaimana dukungan pemerintah terhadap masyarakat adat, bagaimana memastikan ruang hidup mereka, seperti hutan adatnya.
Jika misalnya hutan adat diterobos untuk kepentingan kapital apa masih layak disebut berbudaya.
Kecemasan demikian, pernah ditulis di Kompas (08/9/20) dalam tajuk «masyarakat adat terus berjuang meraih haknya».
Tulisan itu menyebutkan bahwa mereka yang senantiasa mempertahankan hak sembari bertani secara tradisional selalu dalam kondisi terancam.
Budaya sebagai Pakaian
Budaya pada bisa juga dipahami sebagai pakaian.
Tetapi bukan pakaian dalam makna kain penutup tubuh. Melainkan pakaian sebagai perempamaan.
Misalnya perempuan adalah pakaian lelaki; penjaga hormat dan harga diri seorang lelaki.
Mantra sebagai pakaian ; pelindung dari marabahaya.
Pengetahuan sebagai pakaian; menuntun kejalan yang baik dan benar.
Ragam analogi tersebut menunjukkan bahwa pakaian pada dasarnya bisa bermakna simbolis, begitupun budaya.
Ia juga bermakna simbolis ketika dianalogikan sebagai pakaian.
Sebagaimana yang kita tahu, bahwa budaya Itu bisa menampak tersirat dengan maknanya masing-masing.
Korupsi sebagai ironi kebudayaan
Selain itu, budaya dan moral mesti dilihat sepertalian dengan aspek sosial dan politik.
Artinya semakin kental ‘budaya baik’ masyarakat semakin jauh pula perilaku buruknya darinya.
jika melihat data yang ada sepertinya cara berbudaya kita patut disangsikan.
Mari lihat kasus korupsi di negeri kita! Dilansir dari data Indonesia (2022) bahwa terjadi peningkatan kasus korupsi di Indonesia dari 533 tahun 2021 menjadi 579 pada 2022.
Sektor desa menjadi fokus utama korupsi dengan 155 kasus, menyumbang 26,77 persen dari total kasus yang ditangani.
Selain itu, sektor utilitas (88 kasus), pemerintahan(54 kasus), pendidikan (40 kasus), sumber daya alam (35 kasus), dan perbankan (35 kasus) masing-masing pada tahun yang sama.
Merespons catatan peningkatan kasus korupsi di atas, tampaknya ada ironi di sini.
Meskipun upacara dengan pakaian adat mencerminkan keberagaman budaya, data kasus korupsi yang meningkat justru menunjukkan ketidakseimbangan moral dan integritas di dalam bangsa.
Tingginya kasus korupsi menandakan kerentanan dalam implementasi budaya sebagai panduan perilaku kolektif.
Kita seharusnya merenung untuk mengkhidmati bagaimana budaya seharusnya menjadi pilar moral dalam kehidupan sehari-hari dan pemerintahan.
Kita seringkali menyatakan dengan bangga sebagai bangsa yang berbudaya lagi bertuhan.
Tapi bukankah mereka menjadi pelaku korupsi, dan kejahatan hukum telah disumpah di bawah kitab suci? Perilaku semacam itu bukan saja tidak berbudaya tetapi juga tidak bertuhan.(*)