Dari Dato Seri Anwar Ibrahim kita belajar tentang riwayat kelahiran seorang pemimpin. Kapasitas dan pengalaman mereka dipenuhi oleh luasnya bacaan buku-buku bermutu dan ditempa oleh penderitaan serta kesulitan dalam memperjuangkan kebenaran dan keadilan. Meski risiko penjara dan nyawa yang kerap menjadi taruhannya, namun tak gentar dihadapi.
Tak ubahnya para founding fathers dan pemimpin bangsa kita, sejak Bung Karno, Bung Hatta, Syahrir, Tan Malaka, dan lain sebagainya, di mana kritisismenya lahir dari hasil membaca banyak buku ditambah pengalaman politik perjuangannya.
Saat ini, adakah para pemimpin dan politisi kita baik di Sulsel maupun level nasional seperti para pendahulu. Dari Gubernur, Walikota, bupati, hingga politisi DPR dan DPRD di 24 kabupaten/kota di Sulsel. Atau yang paling dekat, menyamai dengan kapasitas bacaan seperti sosok Anwar Ibrahim yang baru saja berkunjung ke Indonesia pekan kemarin. Silakan jawab sendiri.
Dari ini, pastinya bukan soal jawabannya yang penting, namun sejauhmana kita menemukan relevansi kemampuan artikulasi pidato seorang pemimpin dengan kapasitas leadershipnya dalam mengatasi beragam permasalahan bangsa dan negara. Karena sering ada anggapan, No Action Talk Only alias NATO.
Anggapan NATO tidak berarti harus apriori dengan syarat bahwa seorang pemimpin harus cakap dan menguasai ragam informasi dari hasil bacaan dan pengamatannya. Karena mustahil pemimpin mampu menyelesaikan masalah bila tidak pernah membaca buku atau minus pengalaman.
Bagaimana mau bekerja, seorang pemimpin kalau tidak mengerti persoalan. Tidak bisa menganalisa dan tidak dapat memberikan solusi. Lihat saja kalau saat moment-moment pidato para pejabat kita, dari level walikota bupati, hingga politisi legislatif, hanya berpatokan pada teks yang dibuat oleh protokoler. Jangankan pidato bisa menggugah dan menginspirasi, tidak disalahpahami saja sudah cukup. Karenanya tidak berlebihan bila saat pidato, ada saja, politisi kita yang terkantuk-kantuk karena yang disampaikan dan cara menyampaikannya membosankan.
Karenanya jangan sampai jadi bahan ejekan: “di kita, jangankan mengharapkan pemimpin yang punya kapasitas leadership, menemukan calon pemimpin yang NATO alias cakap bicara dengan bacaan dan kemampuan orasi yang bagus saja sudah sulit”.
Karena itu tantangannya di Sulsel khususnya dan Indonesia pada umumnya dalam transformasi politik masa depan adalah mendorong para politisi dan pemimpin kita memiliki banyak pengetahuan dari hasil membaca buku sekaligus juga mampu memiliki kapasitas dalam menyelesaikan berbagai permasalahan masyarakat, tidak sekadar bicara alias NATO dan berbohong dengan laku dan aksi pencitraan palsu. Tabe.(*)