Teropong

Koddala’

Editor: Hasriyani Latif
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Abdul Gafar Pendidik di Departemen Ilmu Komunikasi Unhas Makassar. Abdul Gafar merupakan penulis Kolom Teropong Tribun Timur berjudul Koddala'.

oleh:
Abdul Gafar
Pendidik di Departemen Ilmu Komunikasi Unhas Makassar

TRIBUN-TIMUR.COM - Dalam pergaulan sehari-hari di lingkungan masyarakat Makassar, kata ini dapat dimaknai dengan kata buruk atau jelek.

Ketika seseorang melihat sesuatu yang tidak sesuai dengan apa yang seharusnya, maka dikatakan koddala’na.

Keburukan atau kejelekan ini dapat terjadi di semua sektor kehidupan.

Terkadang kita sebagai pemberi komentar terlalu jeli dalam melihat sesuatu dalam hal-hal yang jelek atau buruknya saja.

Ketika sudah ada kebencian di dalam hati kita terhadap seseorang atau suatu kelompok, maka tiadalah kebaikan yang terlihat di dalamnya.

Istilah orang, semuanya di kali nol, hampa alias nihil.

Betapa besar pengaruhnya jika perkalian nol ini dihembus-hembuskan untuk menghancurkan lawan.

Keberhasilan yang tampak di depan mata bagi orang lain, justeru terlihat kabur atau jelek di matanya.

Sikap seperti ini mengabaikan nalar yang sehat dan normal.

Keburukan orang lain, sengaja dicari-cari, dikorek-korek, dan digali-gali.

Suatu ketika ada seorang wanita pengacara dikomentari potongan rambutnya oleh seorang penjual sayur langganannya.

“Koddala’na u’na”, begitu kata penjual sayur dengan santainya.

Rupanya sang pengacara ini tidak menerima dengan baik komentar dari sang penjual itu.

“Eh, kamu jangan sembarang omong ya," ketusnya.

Rupanya sang penjual sayur ini senang mengomentari pelanggannya.

Ada-ada saja yang dikomentarinya, mulai bentuk tubuh hingga make-up seseorang.

Mulutmu adalah harimaumu, begitu kata bijak yang mesti dilakoni. Karena mulut, badan binasa.

Karena mulutnya yang asal omong, akhirnya sang pelanggan memutuskan untuk berhenti membeli sayur.

Menurut salah seorang teman-pendidik- di program studi manajemen mengatakan bahwa “lebih sulit mempertahankan seorang pelanggan daripada mencari calon pelanggan baru”, katanya berteori.

Negeri ini dibangun di atas cucuran keringat dan tetesan darah hingga nyawa dipertaruhkan.

Negara mempunyai kewajiban menjadikan rakyatnya sejahtera lahir batin dalam suasana aman dan nyaman.

Rakyat merasa bebas berusaha memenuhi hajat hidupnya.

Jangan sampai terjadi rakyat sendiri diabaikan sementara ‘rakyat yang lain’ justru dimanjakan dengan segala fasilitas.

Rakyat kita dianggap tidak memiliki kemampuan dan keterampilan yang memadai untuk sebuah proyek negara.

Untuk mengatasi keadaan tersebut, maka didatangkanlah tenaga kerja asing yang konon memang dipersiapkan untuk proyek tersebut.

Terlebih lagi jika dana pembangunan itu bentuk pinjaman, maka biasanya mengikuti persyaratan tenaga mereka juga mesti dimanfaatkan.

Hari ini, proyek-proyek besar di tanah air yang dalam bentuk pinjaman atau investasi jangka panjang dikuasai pihak asing.

Kalau toh, pelibatan rakyat kita, paling mereka hanya bermain di kelas pekerja kasar yang paling rendah.

Komitmen kebangsaan untuk negeri ini perlu diresapkan ke dalam hati sanubari pemimpin ataupun penguasa.

Jangan sampai mereka sang pemimpin hanya berpikir untuk diri dan kelompoknya sendiri.

Apakah hal itu terjadi di negeri ini ? Kita lihat dan saksikan sendiri !

Biasa ada orang berkomentar, bahwa negeri ini tidak dalam kondisi yang baik-baik saja. Maksudnya apa ya ?

Adakah itu dimaksudkan terhadap perilaku para penyelenggara negara yang koddala’?

Boleh jadi ya !

Ini artinya pelanggaran terhadap komitmen untuk membangun negeri ini dengan baik dan benar.

Salah satu contoh yang nyata menarik perhatian kita adalah lembaga kepolisian.

Lembaga ini menjadi sorotan dari banyak pihak, termasuk presiden dibuat resah.

Angka kepercayaan masyarakat terhadap lembaga ini menurun akibatulah ‘oknum’nya bermain kotor.

Seharusnya sebagai lembaga penegak hukum, merekalah yang menjadi contoh dan pelopor dalam perilaku baik dan benar.

Tetapi ternyata terlihat masih koddala’ !(*)

Berita Terkini