Dokter Terawan Agus Putranto

Mengenal Metode DSA atau Cuci Otak yang Dikembangkan Dokter Terawan, Berujung Pemecatan dari IDI

Editor: Muh. Irham
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Mantan Menteri Kesehatan RI Dokter Terawan Agus Putranto

“Ini adalah desain penelitian yang cacat besar. Itu terjadi dalam penelitian ini,” ucapnya.

Ketiga, tolok ukur keberhasilan riset dipertanyakan karena menggunakan parameter pengganti yaitu pelebaran pembuluh darah.

Prof Rianto menuturkan, tidak ada penjelasan apakah pasien mengalami perubahan signifikan seperti misalnya dari semula tak bisa jalan, bisa kembali menjalani aktivitas normal.

Hal ini juga menjadi kelemahan disertasi Terawan mengenai DSA ini, karena hanya menggunakan tolok ukur pelebaran pembuluh darah.

"Seharusnya satu uji klinis yang baik tolok ukurnya tidak boleh itu, tetapi perbaikan yang betul-betul dirasakan manfaatnya oleh pasien, misalnya tadinya dia nggak bisa ngurus diri, sekarang bisa ngurus diri, tadinya nggak bisa jalan sekarang bisa jalan, itu adalah tolok ukur yang benar," paparnya.

Keempat, dasar penentuan sampel penelitian sebanyak 75 orang juga tidak didasari dengan alasan ilmiah yang jelas.

Kelima, penggunaan prosedur alat diagnostik menjadi terapeutik atau penanganan.

"Ini kalau saya boleh analogikan, kalau ada seseorang yang batuk darah pergi ke dokter, dokternya mengatakan kamu rontgen dulu. Setelah dirontgen, dokter bilang ya itu enggak ada pengobatan lain, prosedur diagnostik itulah yang menjadi pengobatannya. Jadi beralih fungsi yang sama sekali susah diterima oleh nalar kita," kata Rianto.

Sebagaimana diketahui, metode DSA dalam penanganan pasien yang dikembangkan dr Terawan, telah berhasil dibuktikan dan dipertahankan Terawan secara akademik melalui kajian ilmiah (riset) saat Terawan promosi disertasi intra arterial heparin flushing (IAHF) di Universitas Hasanuddin (Unhas), Makassar.

Penelitian yang dilakukan Terawan dinilai menghasilkan inovasi baru dalam pengembangan kesehatan nasional.

Unhas Dapat Tekanan dari Pihak Luar

Selanjutnya, Prof Rianto menuturkan dengan 5 kelemahan tersebut tentu akan muncul pertanyaan mengenai sikap ilmuwan yang menjadi pembimbing disertasi dokter Terawan yang hingga saat ini memilih bungkam.

Menurut Rianto, sebetulnya, peneliti dan pembimbing di Universitas Hasanuddin (Unhas) tempat dokter Terawan mempertahankan disertasinya, mengetahui kelemahan-kelemahan tersebut, tetapi terpaksa menyetujui karena ada tekanan dari luar.

“Saya dalam hal ini mengatakan, hormat saya yang setinggi-tingginya pada Unhas, dan hormat saya pada tim pembimbing mereka, karena mereka sebetulnya tahu sejak semula, cuma mereka terpaksa mengiyakan karena konon ada tekanan eksternal yang saya sama sekali tidak tahu itu bentuknya apa,” tutupnya.

Reaksi Unhas

Halaman
123

Berita Terkini