TRIBUN-TIMUR.COM - Upaya mantan Panglima TNI, Gatot Nurmantyo kini gagal setelah putusan Mahkamah Konstitusi (MK).
MK baru saja menolak uji materi Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
Salah satu yang digugat Gatot Nurmantyo terkait ambang batas pencalonan presiden (Presidential Threshold).
Gugatan Gatot tersebut bernomor 70/PUU-XIX/2021.
"Amar putusan mengadili, menyatakan, permohonan pemohon tidak dapat diterima," kata Ketua Ketua Majelis Hakim Anwar Usman saat membacakan amar putusan secara daring, Kamis (24/2/2022).
Gugatan yang diajukan para pemohon, dikatakan Anwar, tidak beralasan menurut hukum karena Gatot selaku pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo.
Baca juga: Dulu Gatot Nurmantyo Panglima TNI Dicopot Jokowi hingga Masuk Bursa Capres, Kini Targetnya Beda
Baca juga: Ulahnya Dulu Berani Cegat Jenderal Gatot Nurmantyo, Nasib Kolonel Ucu Yustiana Sekarang
Dia juga menyebut sesuai hukum yang berlaku tidak memungkinkan mengabulkan gugatan atas Pasal 222 Undang-Undang Pemilu.
"Pokok permohonan pemohon tidak dipertimbangkan," kata Anwar.
"Demikian diputus dalam rapat permusyawaratan hakim oleh 9 hakim konstitusi, yaitu Anwar Usman selaku ketua merangkap anggota," kata dia.
Diketahui, Gatot Nurmantyo sebelumnya meminta MK menyatakan pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) bertentangan dengan konstitusi.
Ia menilai aturan itu bertentangan dengan pasal 6 ayat (2), 6A ayat (2), dan 6A ayat (5) UUD 1945.
Bunyi dalam tiga pasal UU Dasar dinilai sudah jelas mengatur hak konstitusi kepada partai politik untuk mengajukan calon presiden dan wakil presiden sepanjang menjadi peserta pemilihan umum.
Dalam pasal-pasal tersebut tak ada ketentuan yang mengatakan soal keharusan 20 persen atau harus memenuhi ambang batas tertentu.
"Sama sekali tidak ada ketentuan yang mengatakan harus 20 persen, atau harus memenuhi ambang batas tertentu.
Dan itu sekali lagi sudah merupakan close legal policy yang tidak terkait tata cara, tapi substansi. Untuk itu seharusnya tidak ada yang namanya ambang batas," tegas Refly Harun yang bertindak sebagai kuasa hukum Gatot.
Refly Harun menerangkan bahwa Presidential Threshold 20 persen nyatanya membatasi kemunculan calon pemimpin di masa depan, serta membatasi kemewahan rakyat memilih pemimpin.
Baca juga: Ingat Kolonel Ucu Yustiana? Dulu Cegat Jenderal Gatot Nurmantyo di Makam, Nasibnya Setelah 17 Bulan
Baca juga: Jenderal Dudung Bocorkan Isi Pembicaraan AY Nasution dengan Gatot Nurmantyo soal Patung di Kostrad
"Presidential Threshold ternyata membatasi munculnya calon-calon pemimpin ke depan, dan dalam tanda kutip kemewahan bagi pemilih atau rakyat Indonesia untuk dapat memilih calon-calon presiden," kata Refly.
Sementara Gatot selaku pemohon prinsipal mengaku khawatir dengan nasib Indonesia jika terus menerapkan presidential threshold.
Mengutip pernyataan Bank Dunia, Gatot menyebut bahwa Indonesia saat ini sedang menuju proses kepunahan.
"Yang saya khawatirkan adalah pernyataan dari Bank Dunia, bahwa Indonesia proses menuju kepunahan," kata Gatot dalam sidang Selasa (11/1/2022).
Gatot menyebut kebijakan pemerintah Indonesia yang dipimpin Presiden Joko Widodo sejak tahun 2014 sampai sekarang telah memperlihatkan keretakan. Seperti misalnya kelompok masyarakat yang terbelah.
Namun bukannya mempersatukan, kebijakan yang diambil setelahnya justru membuat keretakan tersebut kian menjadi.
"Kebijakan-kebijakan yang diberikan sejak 2014 sudah terjadi keretakanm tetapi kebijakan yang ada semakin hari, bukannya merekatkan tapi meretakkan.
Ini terlihat, bangsa ini terpecah menjadi dua, dan tidak ada harapan bagaimana suatu negara terbelah dan tidak ada harapan ke depannya," ungkap Gatot.
Di hadapan Panel Hakim Konstitusi Gatot menyebut Presidential Threshold (PT) 20 persen sangat berbahaya.
Baca juga: Mahkamah Konstitusi Buka Peluang Presidential Threshold 0%, Gugatan Tamsil Linrung Cs Terkabul?
Baca juga: Tamsil Linrung dan Senator DPD RI Asal Sulsel Satu Kata Dukung Presidential Threshold 0 persen
Ia menyebut PT 20 persen itu adalah bentuk kudeta terselubung terhadap negara demokrasi menjadi partikrasi melalui berbagai rekayasa Undang-Undang.
"Berdasarkan hasil analisa, hasil renungan, kami berkesimpulan Yang Mulia, ini sangat berbahaya. Karena Presidential Treshold 20 persen adalah bentuk kudeta terselubung terhadap negara demokrasi menjadi partikrasi melalui berbagai rekayasa Undang-Undang," kata Gatot yang hadir secara daring dalam sidang tersebut.
Untuk itu ia memohon Hakim Konstitusi untuk mengabulkan permohonannya.
"Untuk itu kami mohon Yang Mulia, lewat pengambilan keputusan dengan seadil-adilnya berdasarkan nurani dan berdasarkan kebenaran dari Tuhan Yang Maha Esa," kata Gatot. (*)
Artikel ini telah tayang di Tribunnews.com