“Perubahan presidential threshold dari 4 persen ke 20 persen ini terjadi pada 2009. Perubahan menjadi 20 persen itu adalah keinginan SBY yang saat itu ingin dipilih lagi menjadi presiden periode kedua. SBY yang kala itu menjadi Presiden, menginstruksikan kepada Partai Demokrat untuk melobi partai-partai koalisi agar mendukung dan menyetujui keinginan SBY itu”.
Menurut Rahmad, pada 2009, Partai Demokrat menguasai kursi di DPR RI sebesar 21,7%.
"SBY ingin kembali maju menjadi Presiden periode kedua dan ingin menghambat calon-calon lain melalui presidential threshold 20 persen. Rencana SBY itu didukung oleh partai koalisi yang menguasai lebih dari 50 persen kursi DPR RI," katanya.
Ia menjelaskan, Presidential threshold bertujuan membatasi jumlah calon presiden dan calon wakil presiden.
Namun demikian, dengan pembatasan itu masyarakat tetap dimungkinkan untuk mendapatkan empat pasangan calon dalam pilpres.
Pembatasan pasangan calon presiden dan calon wakil presiden juga untuk menciptakan demokrasi yang tidak berbiaya tinggi.
"Jika Presidential threshold menjadi nol persen, maka pasangan calon presiden dan calon wakil presiden bisa mencapai 15 pasang. KPU harus membiayai semua biaya kampanye mereka seperti pada pilkada serentak, seperti menyediakan semua alat peraga kampanye dan lain-lain untuk semua calon," katanya.
"Keuangan negara tentu sangat terbebani di tengah kondisi ekonomi kita sedang berjuang menghadapi pandemi Covid 19."
Oleh karena itu, menurutnya, permintaan SBY itu tidak masuk akal dan terkesan tidak konsisten. (Tribun-timur.com/ Sakinah Sudin, Tribunnews.com/ Malvyandie Haryadi)