Saat itu, kami baru saja menggelar aktivitas pengaderan Taruna Melati III, semacam aktivitas “Advanced leadership training” bagi para Pimpinan IRM.
Seingat saya, dalam forum pengaderan itulah terjadi ‘perang pemikiran’ yang sangat intens.
Hampir setiap sesi diskusi, pasti menjadi ajang debat yang cukup panas.
Sebagian peserta membentuk ‘front penyelamat Iman’ sedangkan sebagian besar fasilitator dianggap ‘misionaris liberalisme’.
Cap ‘Liberalisme’ disematkan kepada para fasilitator, karena kami dianggap berpikir kebablasan, sangat bebas dan terbuka.
Padahal saat itu, kami hanya menampilkan kapita selekta bacaan.
Mulai dari elaborasi Tauhid Sosial Amien Rais, Islam Transformatif Muslim Abdurrahman, Kiri Islam Munir Mulkhan, Islam Kiri Hanafi, Teologi Pembebasan Ashgar Ali Enginer, Rekonstruksi Pemikiran Agama Muhammad Iqbal, hingga Teologi Pembebasan Farid Esack.
Baca juga: KH Nasruddin Razak Dimakamkan di Bajeng Gowa
Kami juga mulai banyak mendiskusikan buku-buku Jalaluddin Rahmat, seperti Islam Aktual, Islam Alternatif, hingga ‘Dahulukan Akhlak di Atas Fikih’.
Intelektual Iran pun mulai kami daras gagasannya, seperti Baqir al-Sadr, Ali Syariati, Murtadha Mutahari, hingga Hossein Nasr.
Filsuf dan Pemikir Sosial Barat juga menjadi bahan kajian.
Tokoh yang masih saya ingat, antara lain Nietszche, Martin Heidegger, Soren Kierkegaard, Karl Heinrich Marx, Juergen Habermas, Paulo Freire dll.
Tentu saja selain bacaan-bacaan serius itu, kami juga membaca Trilogi Laskar Pelangi Andrea Hirata, Ayat-ayat Cinta Habiburakhman el Shirazy, hingga Novel ‘Tuhan Izinkan Aku Jadi Pelacur’ Muhiddin M. Dahlan.
Rasa-rasanya, kami tak mengenal labeling, ini buku Kanan atau Kiri, ini buku Sunni atau Syiah, buku peneguh iman atau pengguncang iman.
Sementara, sebagian besar peserta TM III saat itu, belum bisa menerima keragaman pandangan dan bacaan semacam itu.
Meski demikian, saat penutupan pelatihan kami anggap dialektika yang terjadi dalam forum sekadar dinamika pemikiran biasa.