4. Daeng Mangalle
Daeng Mangalle merupakan salah seorang bangsawan dari Makassar. Setelah kerajaan Gowa kalah dari VOC pada Perang Makassar (1666-1667), Daeng Mangalle bersama 250 pengikutnya meninggalkan Makassar dan merantau sampai ke Ayutthaya (sekarang Thailand) pada tahun 1674.
Raja Phra Narai menampung Daeng Mangalle, seperti umumnya para bangsawan asal Bugis-Makassar segera membuktikan kepiawaian sebagai prajurit profesional di Asia Tenggara. Sayang, Daeng Mangalle terlibat konflik dengan penguasa lokal. Ia dituduh akan melakukan pemberontakan bersama orang Champa dan orang Melayu.
Terjadilah pemberontakan Makassar pada akhir 1686 antara koalisi Daeng Mangalle, pangeran lokal, pemukim Champa, Melayu, dan Persia melawan pasukan Kerajaan Siam yang dibantu serdadu Eropa.
Para pemberontak itu khawatir akan diperbudak oleh raja yang merasa semakin kuat dengan datangnya pasukan baru. Raja Phra Narai mengetahui persekongkolan itu. Ia lalu meminta Daeng Mangalle agar meminta maaf. Namun permintaan itu ditolak Daeng Mangalle.
Raja lalu memerintahkan sekutunya orang Prancis, Claude de Corbin untuk mengepung orang Makassar. Pertempuran pertama dimulai ketika 40 orang Makassar menghadapi ratusan serdadu Perancis dan Portugis.
Corbin mencatat bahwa orang Makassar tak mau kalah. Mereka menyerang dan mengejar pasukan Perancis dan Portugis yang saat itu juga hendak membantai perempuan dan anak-anak.
Enam orang Makassar menyerang pagoda dan membunuh beberapa prajurit serta biarawan di sana. Sebanyak 366 orang prajurit Perancis ditewaskan oleh enam orang Makassar.
Masih dalam catatan Corbin, pada tanggal 23 September 1686, Raja Siam memerintahkan serangan besar ke perkampungan orang Makassar. Mereka hendak membumihanguskan kampung dan membunuh mereka.
Warga Makassar menghadapinya dengan semangat siri, keyakinan untuk membela kehormatan sampai titik darah penghabisan. Karena kalah dalam hal jumlah pasukan, orang Makassar akhirnya takluk. Daeng Mangalle sendiri terluka lalu tewas akibat lima tusukan tombak. Penduduk Siam sangat mengagumi keberanian orang Makassar yang menghadapi ribuan tentara dengan hanya 250 orang.
Antropolog Perancis Christian Pelras dalam majalah Archipel pada tahun 1997, menuturkan kisah lain seusai pemberontakan orang Makassar. Katanya, dua bangsawan muda Makassar yang tersisa di Siam lalu dibawa ke Perancis pada masa pemerintahan Louis XIV, mereka adalah Daeng Ruru dan Daeng Tulolo.
Dua orang itu lalu menjadi anggota legiun pasukan Perancis. Mereka menjadi prajurit hebat. Seorang diantaranya menjadi pasukan angkatan laut Perancis yang diberi gelar Louis Dauphin Makassar.
5. Syekh Yusuf
Bangsawan Makassar menolak menyerah yang terakhir adalah Syekh Yusuf. Syekh Yusuf Abul Mahasin Tajul Khalwati Al-Makasari Al-Bantani, ia juga digelari Tuanta Salamaka ri Gowa (“tuan guru penyelamat kita dari Gowa”) oleh pendukungnya di kalangan rakyat Sulawesi Selatan. Syekh Yusuf lahir di Gowa, Sulawesi Selatan, pada tanggal 3 Juli 1626.
Ketika Kesultanan Gowa mengalami kalah perang terhadap Belanda, Syekh Yusuf pindah ke Banten dan diangkat menjadi mufti di sana. Pada periode ini Kesultanan Banten menjadi pusat pendidikan agama Islam, dan Syekh Yusuf memiliki murid dari berbagai daerah, termasuk 400 orang asal Makassar yang dipimpin oleh Ali Karaeng Bisai.
Ketika pasukan Sultan Ageng dikalahkan Belanda tahun 1682, Syekh Yusuf ditangkap dan diasingkan ke Srilanka pada bulan September 1684. Di Sri Lanka, Syekh Yusuf tetap aktif menyebarkan agama Islam, sehingga memiliki murid ratusan.