Historia

5 Bangsawan Makassar yang Menolak Menyerah ke VOC Belanda, Berjuang Hingga Titik Darah Penghabisan

Editor: Muh. Irham
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Ilustrasi Karaeng Galesong

Bangsawan Makassar menolak menyerah yang kedua adalah Karaeng Galesong. Karaeng Galesong, bernama lengkap I Maninrori I Kare Tojeng Karaeng Galesong, ia lahir di Bonto Majannang, Bantaeng, Sulawesi Selatan pada tanggal 29 Maret 1655.

Karaeng Galesong adalah seorang laksamana angkatan laut Kerajaan Gowa yang terus melakukan peperangan di laut melawan VOC bahkan setelah Perjanjian Bongaya ditandatangani Sultan Hasanuddin.

Dipercaya bahwa Karaeng Galesong adalah pangeran putra dari Sultan Hasanudin itu sendiri dari permaisurinya yang ke 4.

Setelah kekalahan Kerajaan Gowa dari VOC yang bersekutu dengan Kerajaan Bone, Setelah perjanjian Bongaya, dalam dokumem lontara Karaeng Galesong berpendapat, “Yang menyerah hanya Raja Gowa, itu tidak berarti peperangan harus berakhir.”

Jadi Karaeng Galesong bersama adiknya I Fatimah Daeng Takontu dan rekannya Karaeng Bontomarannu masih terus berperang di laut terutama sekitar perairan Pulau Jawa dengan membantu perlawanan Trunojoyo dan Sultan Ageng Tirtayasa.

Karaeng Galesong meninggal karena sakit di Ngantang, Malang, Jawa Timur pada tanggal 21 November 1679, sebelum Trunojoyo menyerah. Ia kemudian dimakamkan di Ngantang.

3. I Fatimah Daeng Takontu

Bangsawan Makassar menolak menyerah yang ketiga adalah I Fatimah Daeng Takontu. I Fatimah Daeng Takontu lahir pada 10 September 1659 adalah putri tunggal hasil perkawinan Raja Gowa Sultan Hasanuddin dengan gadis bangsawan dari Sanrobone I Daeng Takele. Jika sang ayah mendapat gelar “ayam jantan dari timur” maka seorang penyair Belanda memberi julukan “Garuda betina dai timur” kepada Fatimah.

Julukan itu dberikan karena keperkasaan Fatimah dalam memimpin pasukannya dalam setiap peperangan. I Fatimah diberi kepercayaan oleh ayahnya untuk memimpin pasukan srikandi, namanya pasukan Balira. Setiap menghadapi pertempuran, pasukan balira ini juga selalu diikutkan. Mereka selalu dikawal oleh pasukan Tubarani yang didominasi kaum lelaki.

Ditandatanganinya Perjanjian Bungaya pada tahun 1667 tidak menghentikan langkah I Fatimah Daeng Takontu bersama kakaknya Karaeng Galesong untuk terus berperang. Mereka bertekad ke tanah Jawa untuk melanjutkan perjuangan Raja Banten Sultan Agung Tirtajasa dan Raja Mataram Raden Trunojoyo.

Kedatangan orang-orang dari Makassar ini mendapat sambutan hangat dari Sultan Banten. Pasukan dari Makassar ini kemudian bergabung dengan pasukan Banten. Kiprah I Fatimah bersama pasukan Balira tidak hanya di Banten, ia juga ikut membantu Kerajaan Mataram bersama kakaknya Karaeng Galesong.

Baik pasukan Tubarani pimpinan Karaeng Galesong maupun pasukan Balira pimpinan I Fatimah, semuanya sudah dilengkapi dengan persenjataan. Di Mataram terjadi pertempuran antara pasukan Belanda yang didukung oleh pasukan Sultan Amangkurat II dan pasukan Arung Palakka dari Bone melawan pasukan gabungan Trunojoyo, Karaeng Galesong dan Bontomarannu.

Karena terdesak, akhirnya pasukan Gowa mundur. Karaeng Galesong jatuh sakit dan wafat pada 22 November 1679 dan dimakamkan di desa Sumber Agung, Kecamatan Ngantang, Kabupaten Malang. I Fatimah mencari tempat perlindungan yang aman, selanjunya melanjutnya perjalanan ke Banten.

I Fatimah kemudian menikah dengan anak Sultan Banten yaitu Maulana Hasanuddin. I Fatimah dan suaminya Maulana juga ikut bergerilya di hutan-hutan. Di lokasi persembunyian, Belanda melakukan serangan mendadak hingga pasukan I Fatimah kocar kacir dan menyebabkan I Fatimah dan Maulana terpisah.

I Fatimah melarikan diri ke Kerajaan Mempawa, Kalimantan Barat. I Fatimah wafat dan dikuburkan di Pulau Tumaju, salah satu pulau di Mempawa Kalimantan Barat.

Halaman
1234

Berita Terkini