Di akhir perjalanan pulang di Bulan Ramadan itulah Abu Dzar terus bertanya kepada Rasulullah soal Lailatul Qadr.
Kegigihan ingin tahunya itu selalu dijawab Rasulullah, sebagimana mengutip Surah Al Qadr (1-5) dan ayat 185 Surah Albaqarah soal kemuliaan Ramadan, bulan diturunkannya Alquran.
Ibn Katsir saat menafsirkan Lailatul Qadr menukil riwayat kegigihan Abu Dzar dengan haditsnya saat ditanya kapan waktu persis turunya malam yang melebihi 1000 bulan itu;
;;Carilah Lailatul Qadar dalam sepuluh malam terakhirnya, jangan kamu bertanya lagi mengenai apapun sesudah ini."(HR Ahmad)
Dan sejak itu, Abu Dzar tak pernah bertanya lagi, hingga masuknya Ramadan terakhir Nabi di tahun ke-10 Hijriyah.
Perihal kegigihan dan kesetiaan Abu Dzar, inilah juga hingga Rasulullah, meramalkan akhir hidup Sang Sahabat.
Al kisah, di pertengah Ramadan dalam perjalanan dari Tabuk ke Madinah, keledai milik Abu Dzar melemah dan terluka.
Akhirnya ia rela berjalan kaki memikul bawaannya, pakaian, dan hasil rampasan perang.
Padahal cuaca bulan ke-9 Hijriyah (Ramadan) adalah puncak musim panas yang menyayat dan berkilau.
Nah, saat itulah Abu Dzar keletihan dan roboh di hadapan Nabi SAW.
Namun Rasulullah heran kantong airnya masih penuh.
Setelah ditanya mengapa air di kantung kulit unta itu tak ia minum, sosok kritis dan selalu bertanya ini menjawab;
"Di perjalanan saya temukan mata air. Saya minum air itu sedikit dan saya merasakan nikmat. Setelah itu, saya bersumpah tak akan minum air itu lagi sebelum Nabi SAW meminumnya."
Dengan rasa haru, Rasulullah berujar, "Engkau datang sendirian, engkau hidup sendirian, dan engkau akan meninggal dalam kesendirian. Tapi serombongan orang dari Irak yang saleh kelak mengurus pemakamanmu."
Dan takwil kematian Abu Dzar terbukti. ia mengakhiri hidupnya di lembah sunyi Rabadzah, pinggiran Madinah.