OPINI

OPINI - Iuran BPJS Naik, Mana Tanggungjawab Negara?

Editor: Aldy
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Dr Andi Surahman Batara

Oleh:
Andi Surahman Batara
Pengajar di Fakultas Kesehatan Masyarakat UMI - Pengurus Masika ICMI Sulsel

Pemerintah sedang berencana menaikkan iuran peserta Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan.

Jika tak ada aral, kenaikan tersebut rencananya direalisasikan awal Januari 2020. Rencana ini pun menuai pro kontra di masyarakat.

Menurut saya, pemerintah perlu meninjau ulang rencana tersebut. Pemerintah sebaiknya berdasar pada riset tentang ability to pay masyarakat.

Walaupun memang dalam PP 82 Tahun 2018 pasal 16 dituliskan bahwa kenaikan iuran adalah kewajiban yang perlu dilakukan dalam dua tahun sekali.

Apalagi rencana besaran kenaikan iurannya terlalu drastis. Membuat publik tersentak kaget.

Besaran kenaikan untuk peserta bukan penerima upah yakni Rp 80.000 naik menjadi Rp 160.000 (Kelas 1), Rp 51.000 naik menjadi Rp. 110.000 (kelas 2), Rp 25.500 naik menjadi Rp 42.000 (Kelas 3). Untuk penerima upah sebesar 5% dari take home pay (gaji bersih).

Sedangkan untuk peserta penerima bantuan iuran (PBI), iurannya dibayarkan pemerintah juga akan dinaikkan dari Rp 23.000 menjadi Rp 42.000. Pada akhirnya ini akan menjadi beban.

Baca: Kementan dan Korem Lampung Genjot Percepatan Tanam Padi

Beban bagi masyarakat yang menjadi peserta mandiri maupun pemerintah yang menanggung iuran peserta PBI.

Peserta PBI yang didaftar oleh pemerintah daerah maka iuran mereka wajib dibayarkan oleh pemerintah daerah.

Padahal kita tahu bersama bahwa jaminan kesehatan untuk rakyat adalah tanggungjawab negara.

Maka dari itu negara harus siap menggelontorkan dana berapapun untuk jaminan kesehatan rakyatnya! Bukan sebaliknya menaikkan iuran BPJS yang akan menambah beban rakyat.

Untuk mengatasi defisit, saya kira masih ada cara lain atau kebijakan lain selain menaikkan iuran BPJS.

Salah satunya adalah tetap mempertahankan subsidi dari pemerintah. Salah satu masalah BPJS adalah tingginya jumlah peserta yang non-aktif.

Laporan BPJS tahun 2017 menunjukkan peserta nonaktif sebanyak 13.308.805. Peserta nonaktif terbanyak adalah Peserta Bukan Penerima Upah (PBPU) alias pekerja mandiri sebanyak 11.609.996.

Salah satu penyebab non aktif adalah tidak membayar iuran (menunggak). Dengan jumlah iuran saat ini saja banyak peserta yang menunggak.

Baca: Perangi Hoaks, PMII Gelar Aksi Damai di Halaman Kantor Bupati Barru

Jika iuran dinaikkan maka bisa diprediksi jumlah peserta non aktif akan semakin tinggi. Artinya, menaikkan iuran tidak serta merta mengatasi defisit BPJS. Tapi justru akan menambah masalah.

Menurut saya yang perlu pemerintah kaji saat ini adalah penyebab ketidapatuhan peserta membayar iuran dan seperti apa strategi BPJS mengatasi masalah tersebut.

Saya setuju jika ada regulasi yang menjadi acuan untuk mengatasi peserta yang menunggak tersebut.

Pemerintah sanggup mengeluarkan dana sekitar Rp 153,5 triliun untuk subsidi bahan bakar minyak (BBM), elpiji dan listrik pada tahun 2018.

Kenapa pemerintah tidak mengambil kebijakan yang sama yaitu tetap menalangi kebutuhan BPJS? Toh anggaran tersebut juga untuk memenuhi hak dasar rakyat.

Jika kita kembali pada amanat UUD 1945 (hasil amandemen) bahwa kesehatan adalah hak asasi manusia dituliskan dalam pasal 28H (1) setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat, serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan, (2) setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan, (3) setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermartabat.

Baca: Kanit Tipidter Polres Bulukumba Sebut Operasi Tambang Ilegal di Ujung Loe Sering Bocor

Pasal 34 lebih lanjut menuliskan (1) fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara, (2) Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan, (3) negara bertanggungjawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak.

Berdasarkan regulasi tersebut, maka negara harus bertanggungjawab terhadap jaminan kesehatan rakyatnya.

Negara tidak boleh lalai bahkan lepas tangan terhadap masalah jaminan kesehatan dengan menaikkan beban iuran yang akan memberatkan peserta BPJS.

Perlu ada survei kepada seluruh peserta BPJS tentang kemampuan membayar mereka.

Selain itu, pemerintah melalui kementerian kesehatan harus menggiatkan gerakan hidup sehat untuk mencegah prevalensi penyakit yang terus meningkat.

Khususnya penyakit tidak menular yang berbiaya mahal seperti jantung, stroke, gagal ginjal, dan thalassemia.

Baca: Kasihan, Sudah Sepekan Warga Takalar Tak Bisa Urus KTP

Beban biaya pelayanan kesehatan mencapai 21,66 % dari seluruh pembiayaan layanan kesehatan tahun 2018, angkanya mencapai Rp 20,4 triliun.

Penyakit jantung Rp 10,5 triliun, kanker Rp 3,4 triliun, stroke 2,5 triliun, gagal ginjal Rp 2,3 triliun, dan thalassemia Rp 490 milliar

. Berbagai riset menunjukkan bahwa mencegah penyakit berbiaya mahal ini dengan menerapkan pola hidup sehat…Wallahu a’lam bissawab. (*)

Catatan: tulisan ini telah terbit di Tribun Timur edisi cetak, Selasa (03/09/2019)

Berita Terkini