Gejala
Secara historis, para ahli dan peneliti dalam bidang autisme mengalami kesulitan dalam menentukan seseorang sebagai penyandang autisme atau tidak.
Pada awalnya, diagnosa disandarkan pada ada atau tidaknya gejala namun saat ini para ahli setuju bahwa autisme lebih merupakan sebuah kontinuum.
Gejala-gejala autisme dapat dilihat apabila seorang anak memiliki kelemahan di tiga domain tertentu, yaitu sosial, komunikasi, dan tingkah laku yang berulang.
Aarons dan Gittents (1992) merekomendasikan adanya suatu pendekatan deskriptif dalam mendiagnosa autisme sehingga menyertakan pengamatan-pengamatan yang menyeluruh di setting-setting sosial anak sendiri.
Settingya mungkin di sekolah, di taman-taman bermain atau mungkin di rumah sebagai lingkungan sehari-hari anak dimana hambatan maupun kesulitan mereka tampak jelas di antara teman-teman sebaya mereka yang normal.
Persoalan lain yang memengaruhi keakuratan suatu diagnosa seringkali juga muncul dari adanya fakta bahwa perilaku-perilaku yang bermasalah merupakan atribut dari pola asuh yang kurang tepat.
Perilaku-perilaku tersebut mungkin saja merupakan hasil dari dinamika keluarga yang negatif dan bukan sebagai gejala dari adanya gangguan.
Adanya interpretasi yang salah dalam memaknai penyebab mengapa anak menunjukkan persoalan-persoalan perilaku mampu menimbulkan perasaan-perasaan negatif para orang tua.
Pertanyaan selanjutnya kemudian adalah apa yang dapat dilakukan agar diagnosa semakin akurat dan konsisten sehingga autisme sungguh-sungguh terpisah dengan kondisi-kondisi yang semakin memperburuk? Perlu adanya sebuah model diagnosa yang menyertakan keseluruhan hidup anak dan mengevaluasi hambatan-hambatan dan kesulitan anak sebagaimana juga terhadap kemampuan-kemampuan dan keterampilan-keterampilan anak sendiri.
Mungkin tepat bila kemudian disarankan agar para profesional di bidang autisme juga mempertimbangkan keseluruhan area, misalnya: perkembangan awal anak, penampilan anak, mobilitas anak, kontrol dan perhatian anak, fungsi-fungsi sensorisnya, kemampuan bermain, perkembangan konsep-konsep dasar, kemampuan yang bersifat sikuen, kemampuan musikal, dan lain sebagainya yang menjadi keseluruhan diri anak sendiri.
Diagnosis
Anak dengan autisme dapat tampak normal pada tahun pertama maupun tahun kedua dalam kehidupannya. Para orang tua seringkali menyadari adanya keterlambatan kemampuan berbahasa dan cara-cara tertentu yang berbeda ketika bermain serta berinteraksi dengan orang lain.
Anak-anak tersebut mungkin dapat menjadi sangat sensitif atau bahkan tidak responsif terhadap rangsangan-rangsangan dari kelima panca inderanya (pendengaran, sentuhan, penciuman, rasa dan penglihatan).
Perilaku-perilaku repetitif (mengepak-kepakan tangan atau jari, menggoyang-goyangkan badan dan mengulang-ulang kata) juga dapat ditemukan.
Perilaku dapat menjadi agresif (baik kepada diri sendiri maupun orang lain) atau malah sangat pasif.
Besar kemungkinan, perilaku-perilaku terdahulu yang dianggap normal mungkin menjadi gejala-gejala tambahan.
Selain bermain yang berulang-ulang, minat yang terbatas dan hambatan bersosialisasi, beberapa hal lain yang juga selalu melekat pada para penyandang autisme adalah respon-respon yang tidak wajar terhadap informasi sensoris yang mereka terima, misalnya; suara-suara bising, cahaya, permukaan atau tekstur dari suatu bahan tertentu dan pilihan rasa tertentu pada makanan yang menjadi kesukaan mereka.
Beberapa atau keseluruhan karakteristik yang disebutkan berikut ini dapat diamati pada para penyandang autisme beserta spektrumnya baik dengan kondisi yang teringan hingga terberat sekalipun:
1. Hambatan dalam komunikasi, misal: berbicara dan memahami bahasa.
2. Kesulitan dalam berhubungan dengan orang lain atau obyek di sekitarnya serta menghubungkan peristiwa-peristiwa yang terjadi.
3. Bermain dengan mainan atau benda-benda lain secara tidak wajar.
4. Sulit menerima perubahan pada rutinitas dan lingkungan yang dikenali.
5. Gerakkan tubuh yang berulang-ulang atau adanya pola-pola perilaku yang tertentu
Penyebab
Hingga kini apa yang menyebabkan seseorang dapat menderita autisme belum diketahui secara pasti.
Riset-riset yang dilakukan oleh para ahli medis menghasilkan beberapa hipotesis mengenai penyebab autisme.
Dua hal yang diyakini sebagai pemicu autisme adalah faktor genetik atau keturunan dan faktor lingkungan seperti pengaruh zat kimiawi ataupun vaksin.
Faktor genetik diyakini memiliki peranan yang besar bagi penyandang autisme walaupun tidak diyakini sepenuhnya bahwa autisme hanya dapat disebabkan oleh gen dari keluarga.
Riset yang dilakukan terhadap anak autistik menunjukkan bahwa kemungkinan dua anak kembar identik mengalami autisme adalah 60 hingga 95 persen sedangkan kemungkinan untuk dua saudara kandung mengalami autisme hanyalah 2,5 hingga 8,5 persen.
Hal ini diinterpretasikan sebagai peranan besar gen sebagai penyebab autisme sebab anak kembar identik memiliki gen yang 100% sama sedangkan saudara kandung hanya memiliki gen yang 50% sama.
Ada dugaan bahwa autisme disebabkan oleh vaksin MMR yang rutin diberikan kepada anak-anak di usia dimana gejala-gejala autisme mulai terlihat.
Kekhawatiran ini disebabkan karena zat kimia bernama thimerosal yang digunakan untuk mengawetkan vaksin tersebut mengandung merkuri.
Unsur merkuri inilah yang selama ini dianggap berpotensi menyebabkan autisme pada anak.
Namun, tidak ada bukti kuat yang mendukung bahwa autisme disebabkan oleh pemberian vaksin.
Penggunaan thimerosal dalam pengawetan vaksin telah diberhentikan namun angka autisme pada anak semakin tinggi.
Penanganan autisme
Intensitas dari treatment perilaku pada anak dengan autisme merupakan hal penting, tetapi persoalan-persoalan mendasar yang ditemui di Indonesia menjadi sangat krusial untuk diatasi lebih dahulu.
Berikut ini adalah suatu uraian sederhana dari berbagai literatur yang ada dan ringkasan penjelasan yang tidak menyeluruh dari beberapa treatment yang diakui saat ini.
Menjadi keharusan bagi orang tua untuk mencari tahu dan mengenali treatment yang dipilihnya langsung kepada orang-orang yang profesional dibidangnya.
Sebagian dari teknik ini adalah program menyeluruh, sedang yang lain dirancang menuju target tertentu yang menjadi hambatan atau kesulitan para penyandangnya.
- - Educational Treatment, meliputi tetapi tidak terbatas pada: Applied Behavior Analysis (ABA) yang prinsip-prinsipnya digunakan dalam penelitian Lovaas sehingga sering disamakan dengan Discrete Trial Training atau Intervensi Perilaku Intensif.
- - Pendekatan developmental yang dikaitkan dengan pendidikan yang dikenal sebagai Floortime.
- - TEACCH (Treatment and Education of Autistic and Related Communication – Handicapped Children).
- - Biological Treatment, meliputi tetapi tidak terbatas pada: diet, pemberian vitamin dan pemberian obat-obatan untuk mengurangi perilaku-perilaku tertentu (agresivitas, hiperaktif, melukai diri sendiri, dsb.).
- - Speech – Language Therapy (Terapi Wicara), meliputi tetapi tidak terbatas pada usaha penanganan gangguan asosiasi dan gangguan proses auditory/pendengaran.
- - Komunikasi, peningkatan kemampuan komunikasi, seperti PECS (Picture Exchange Communication System), bahasa isyarat, strategi visual menggunakan gambar dalam berkomunikasi dan pendukung-pendukung komunikasi lainnya.
- - Pelayanan Autisme Intensif, meliputi kerja team dari berbagai disiplin ilmu yang memberikan intervensi baik di rumah, sekolah maupun lngkungan sosial lainnya.
- - Terapi yang bersifat Sensoris, meliputi tetapi tidak terbatas pada Occupational Therapy (OT), dan Auditory Integration Training (AIT).
Foto: Kolase Tribun Manado/ Ilustrasi