OPINI

OPINI - #JusticeFor”Kakaknya” Audrey

Editor: Aldy
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Mahasiswa Jurusan Bahasa dan Sastra Inggris Fakultas Adab dan Humaniora UIN Alauddin Makassar/Presiden Mahasiswa DEMA UIN Alauddin Makassar Periode 2018

Rangkaian budaya ini oleh Bourdieu disebut juga sebagai Habitus.

Akibatnya masyarakat kelas bawah, dipaksa untuk menerima, menjalani, mempraktikkan, dan mengakui bahwa habitus kelas atas merupakan habitus yang pantas bagi mereka (kelas bawah), sedangkan habitus kelas bawah merupakan habitus yang sudah selayaknya dibuang jauh-jauh.

Kekerasan simbolik sering terjadi di institusi pendidikan, baik sekolah maupun kampus.

Dalam proses terjadinya kekerasan simbolik, terdapat yang namanya modal sebagai penyebab terjadinya kekerasan tersebut, yakni modal sosial, modal budaya dan modal simbolik.

Di kampus, kekerasan simbolik seringkali terjadi.

Sebuah bentuk kekerasan yang tidak kasat mata dan tidak dapat terlihat dengan jelas tanpa adanya pemahaman kritis dan mendalam dari orang yang mengalaminya (korbannya).

Misalnya antara tenaga pendidik (dosen) dan peserta didik (mahasiswa) melalui pola dominasi dengan menempatkan mahasiswa sebagai objek.

Baca: Bosowa Berlian Grebek Pasar, Pacu Penjualan Kelas Komersil

Salah satu contohnya di dalam ruang perkuliahan dosen selalu menempatkan dirinya sebagai subjek dan mahasiswa sebagai objek sehingga tidak terjadi proses dialektika dalam kelas.

Proses dialektika inilah yang seharusnya tercipta karena mengingat bahwa kampus sebagai wadah pengembangan dan transformasi ilmu pengetahuan sedangkan yang namanya transformasi ilmu pengetahuan meniscayakan nuansa dialektis.

Dominasi ideologi yang dilakukan oleh dosen dengan konstruksi pembelajaran satu arah menyebabkan mahasiswa tidak lain hanyalah pendengar.

Adanya pola dominasi yang tentunya condong ke arah “pemaksaan” dapat menyebabkan terjadinya kekerasan simbolik secara tidak langsung.

Contoh lain yakni proses penetapan kebijakan yang berkaitan dengan mahasiswa di kampus oleh petinggi atau apparatus kampus tanpa pelibatan mahasiswa di dalamnya merupakan bentuk penghilangan nuansa demokratisasi dalam kampus.

Hal inilah yang kemudian akan membuka lebar kran kekerasan simbolik karena kebijakan yang dikeluarkan yang notabenenya mengatur tentang kehidupan mahasiswa.

Baca: Gowa Peringkat 21 Penyelenggara Pemerintah Daerah se-Indonesia

Namun dalam proses penetapan, mahasiswa tidak terlibat. Maka secara otomatis bentuk pemaksaan ideologi melalui kebijakan tersebut terjadi secara tidak langsung.

Mahasiswa dalam hal ini sebagai objek daripada kebijakan yang dikeluarkan tidak memiliki ruang untuk sekedar mempertanyakan kebijakan tersebut, mahasiswa mau atau tidak mau harus mentaati kebijakan yang hadir.

Pembungkaman demokratisasi kampus melegitimasi kekerasan simbolik terhadap mahasiswa.

Institusi Pendidikan harus menjadi ranah yang ramah terhadap para peserta didik untuk melahirkan habitus ilmiah dan kritis demi pengembangan modal intelektual yang berorientasi pada konsep memanusiakan manusia.(*)

Catatan: tulisan ini telah terbit di Tribun Timur edisi cetak, Sabtu (27/04/2019)

Berita Terkini