Selain itu ada juga jalan yang rusak dibenahi, yang berada di titik poros Sungguminasa-Takalar yang telah dijanjinkan ke Bupati Gowa. "Targetnya adalah kita fungsionalkan, artinya mencari titik yang paling rusak berat," katanya.
Mendarat Darurat
Pesawat helikoter yang ditumpangi NA mendarat darurat di Jeneponto, Rabu (28/11/2018) sore.
Helikopter PK-JPB 407 GX milik PT Jhonlin Air Transport (JAT) itu tak mampu melanjutkan penerbangan dari Bantaeng ke Makassar.
Ia terpaksa mendarat darurat di di Lapangan Ibrahim Tulle Mayonif 726/Tml, di Desa Rajaya Kecamatan Bangkala, Jeneponto, pukul 17.20 wita.
Informasi yang dihimpun Tribun, helikopter yang dipiloti Nur Hadi (38) dan Copilot Nili Subarli (60) itu berangkat dari Bantaeng menuju Makassar pada pukul 16.45 wita.
Setengah jam terbang, pesawat itu mengalami gangguan mesin dan mulai mencari pendararan darurat.
“Pesawat mengalami patah di sayap kiri belakang dan bagian skip pendaratan. Pilot dan copilot langsung dilarikan ke Poliklinik Yonif 726/Tml karena mengalami sok,” jelas Kapendam Kodam XIV Hasanuddin (ketika itu), Kolonel Alamsyah.
Sebelumnya, pesawat itu ditumpangi Gubernur Sulsel Nurdin Abdullah (NA) ke Bulukumba, Selasa (27/11/2018). Bahkan, rencananya pesawat itu akan ditumpangi lagi NA bersama beberapa pejabat dari Jepang dari Biro, Bulukumba, ke Makassar.
Karena pesawat itu bermasalah, NA dan pejabat dari Jepang memilih naik darat kembali ke Makassar untuk mengikuti acara di Hotel Four Points by Sheraton, Selasa malam.
NA ke Bulukumba bersama dengan rombongan tamu dari Jepang untuk melihat proses pembuatan kapal Pinisi.
Esoknya, NA naik helikopter lagi ke Lueu Utara (Lutra) dan Luwu Timur (Lutim). Juru Bicara NA, Bunyamin Arsyad, mengonformasikan, pesawat yang dipakai itu bukan lagi pesawat yang bermasalah di Bira dan mendarat darurat di Jeneponto itu.
NA menumpangi helikopter warna kuning ke Lutra dan tiba di Bandar Udara Andi Djemma, Jl Jenderal Ahmad Yani, Masamba, sekitar pukul 13.30 wita.
NA disambut Bupati Luwu Utara Indah Putri Indriani bersama sejumlah pejabat dan pimpinan partai politik setempat.
NA istirahat sejenak di Rumah Jabatan Bupati Lutra sebelum meninjau proyek Bendung Baliase.
Bendung Baliase proyek Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Direktorat
Jenderal Sumber Daya Air.
Atap Gubernuran Bocor
Akhir November 2018, NA dan Liestiaty F Nurdin berjibaku menadah air hujan yang menerobos atas Gubernuran.
Air hujan deras yang mengguyur Makassar pada Jumat (30/11/2018) sore menembus atas Gubernuran. Gubernur dan Ketua Tim Penggerak PKK Sulsel pun sibuk membantu menadah air hujan yang menetes ke ruang utama rumah jabatan peninggalan Belanda di Jl Jenderal Sudirman itu.
Pada sekitar pukul 17.30 wita, tujuh baskom dan ember serta satu container plastik ditebas di sekitar meja kerja gubernur di atas karpet merah.
NA yang bersiap melaksanakan Salat Magrib dan sudah mengenakan jalabiyah, pakaian terusan khas Arab Saudi berwarna putih, ikut menata letak baskom. Ibu Lies, sapaan Liestiaty, juga tampak sibuk. Sesekali Lies mendongak ke plafon dan menunjukkan suaminya sumber tetesan air.
Sekejap, sejumlah video beredar memperlihatkan air membasahi ruangan yang biasanya digunakan gubernur menerima tetamu.
Kepala Biro Umum dan Perlengkatan Setda Provinsi Sulsel Muh Hatta mengatakan, kebocoran atap terjadi karena hujan turun pada saat atap rumah jabatan gubernur diperbaiki.
Menurutnya, pengerjaan untuk mengganti sebagian atap sirap, kemudian turun hujan. "Tukang belum sempat menutup yang terbuka tadi, sehingga air masuk ke dalam dan menembus plafon ruang tamu," kata Hatta.
Polemik Pemakaian Profesor
Awal April 2019 ini, NA diserang polemik pemakaian gelar profesor. Dia dinilai tidak etis lagi menulis prof di depan namanya sebagai Gubernur Sulsel.
Tapi NA menegaskan dirinya tetap profesor dan akan terus jadi profesor hingga akhir hayat. Baginya profesor adalah karya dan sampai kapanpun dia akan terus berkarya.
NA menjadi dosen di Fakultas Pertanian Unhas sejak 1987, saat itu mantan Wakil Gubernur Sulsel Agus Arifin Nu`mang masih mahasiswa di fakultas ini.
NA sudah doktor (S3), peraih jenjang akademik tertinggi, sejak tahun 1994. ia meraih doktor di Kyushu University Jepang Tahun 1994.
Pada Juli 2008, NA menjadi Guru Besar Ilmu Kehutanan di Unhas melalui Surat keputusan Mendikbud Prof Dr Bambang Sudibyo MBA. Dia sudah berhak mengandang gelar profesor sebulan menjelang pelantikannnya sebagai Bupati Bantaeng.
Beredarnya penggunaan profesor di luar kampus memantik Guru Besar Unhas “turun gunung”.
Ketua Dewan Guru Besar Unhas Prof Dr Ir Mursalim, Rabu (3/4/3019) malam menegaskan, profesor bukanlah gelar, tapi pangkat akademik yang diberikan melalui karya
"Jadi kita harus tahu, bahwa profesor itu bukan gelar tapi pangkat akademik. Gelar itu seperti sarjana, master, dan doktor," tegas Prof Mursalim.
Ketua Dewan Profesor Unhas, Prof Abrar Saleng, mengatakan secara administrasi gelar profesor hanya boleh digunakan kepada mereka yang masih aktif sebagai dosen (pendidik) di kampus yang menanunginya.
Menurutnya sebagaimana diatur dalam UU Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, pada Pasal 23 ayat (1) berbunyi bahwa universitas, institut, dan sekolah tinggi dapat diangkat guru besar atau profesor sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Serta ayat (2) sebutan guru besar atau profesor hanya dipergunakan selama yang bersangkutan masih aktif bekerja sebagai pendidik di perguruan tinggi.
"Merujuk aturan ini, tentu sudah jelas. Bahwa penggunaan gelar profesor itu hanya dipakai saat mereka masih aktif mengajar," jelas Prof Abrar, Rabu (3/4/2019).
Prof Mursalim menjelaskan perbedaan antara pangkat akademik dengan gelar pendidikan. Pangkat akademik itu diberikan melalui karya, dan memiliki masa waktu sedangkan gelar pendidikan itu diberikan melalui studi dan tidak memiliki masa.
Gelar akademik atau profesor diberikan oleh universitas dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Seseorang yang menyandang profesor ini secara administrasi tidak bisa digunakan jika tidak lagi aktif sebagai dosen (pendidik), baik itu karena pensiun ataupun mundur sebagai dosen.
Syarat lainnya, seseorang menyandang profesor saat dosen tersebut memiliki gelar pendidikan sarjana, magister, hingga doktor.
Kalau pun ada yang mau memakai gelar profesor itu diluar kampus, setelah tak aktif lagi sebagai dosen, Prof Mursalim menyarankan agar dipakaikan purnawirawan untuk membedakannya dengan profesor aktif.
Asosiasi Profesor Indonesia (API) ikut mengomentari penggunaan gelar profesor dalam kegiatan adminitrasi Gubernur Sulsel.
Ketua API Sulsel Prof Dr Zainuddin Taha menegaskan perihal penggunaan gelar profesor pada seseorang yang berhak mengandangnya.
Prof Zainuddin menegaskan, gelar profesor melekat ketika seseorang mengajar dan melakukan kerja-kerja akademis di kampus.
“Pak Gubernur bisa memakai itu ketika mengajar di perguruan tinggi swasta maupun negeri. Tapi saya tidak tahu yah, apakah Pak Gubernur juga mengajar di kampus swasta,” kata Prof Zainuddin.
Terpisah, Guru Besar Ilmu Hukum dan Tata Negara Fakultas Hukum (FH) Unhas, Prof Dr Andi Pangerang Moenta SH MH DFM, mengingatkan aturan etik penggunaan gelar profesor.
“Saya tidak mengoreksi Gubernur (Nurdin Abdullah) yah, tapi kita merujuk ke aturan yang ada saja. Profesor hanya disematkan bagi mereka yang aktif sebagai pendidik di universitas atau perguruan tinggi,” jelas Ketua Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (KAHMI) Sulsel itu.
Menurut Prof Pangerang, bisa saja ada mempertanyakan legalitas administrasi yang diteken NA yang memakai profesor.
“Terkait legalitas administrasi yang diteken dengan menyematkan gelar profesor, itu belum bisa dipastikan apakah sah atau tidak. Pasalnya, hingga saat ini tidak ada regulasi atau aturan yang mengatur tentang penempatan pangkat akademik ditataran administrasi,” kata Prof Pangerang.
Pengamat Politik Arqam Azikin mengaku risih membaca polemik “prof” di depan nama NA. Menurutnya, ini sudah beberapa kali diperdebatkan.
“Mestinya Pak Gubernur sudah berbesar hati tidak usah pakai profesor. Hal ini sudah dipersoalkan saat masih menjadi calon gubernur, masa akan terus dipersoalkan. Mestinya NA tahu diri dan secara moral sudah tidak patut pake gelar prof bila tanda tangan surat atau SK ebagai gubernur,” jelas Arqam.
Menurut anggota Forum Dosen itu, lebih baik NA patuhi Dewan Profesor Unhas. “Heboh lagi NA karena profnya, sayang sekali bukan karena kinerja atau terobosannya sebagai gubernur,” kata Arqam.
Direktur Eksekutif Forsospolmas Sulsel, MS Baso DN menegaskan, kritikan terkait gelar profesor NA sangat berlebihan. Menurutnya, hal itu tidak perlu dipermasalahkan karena tidak ada larangan dan sanksi menggunakan gelar profesor di depan nama seorang kepala daerah, baik gubernur, bupati, maupun wali kota.
“Kenapa harus dipersoalkan dan apanya yang salah. Gubernur Sulsel adalah profesor asli bukan prof gadungan serta gelar profesor bukan hal mudah untuk diraih dan berjenjang,” ujarnya via rilis.
Menurutnya, beberapa mantan gubernur di Indonesia termasuk Sulsel pernah dan menggunakan gelar professor seperti Prof Dr Ahmad Amiruddin (Sulsel), Prof Dr Ida Bagus Oka (Bali), dan Prof Dr Irwan Prayitno (Sumatera Barat).
Menurut Baso, lebih penting saat ini bukan mempersoalkan penggunaan gelar profesor di depan nama seseorang tapi kontribusi untuk kepentingan bangsa, negara, dan masyarakat.
“Biarpun berlapis-lapis gelar yang diperoleh seseorang di depan namanya tapi tidak dimanfaatkan dalam hal positif ataupun tidak memiliki karya besar untuk kepentingan masyarakat dan pemerintah maka gelar itu tidak pantas dibanggakan,” katanya.(TRIBUN-TIMUR.COM)