Abu Umar menambahkan, tubuhnya sempat terhantam pintu kamar saat hendak keluar menyelamatkan anak-anaknya, hingga berusaha keras dan akhirnya berhasil keluar.
Barang-barang rumah dijumpainya dalam posisi berantakan, namun beliau hanya berfokus pada anak-anaknya.
Ia pun mendekap erat anaknya hingga keluar rumah saat guncangan semakin hebat.
"Dinding sebelah kanan rumah saya rubuh, yang menyebabkan tidak bisa lagi untuk ditinggali," ujarnya.
Beberapa detik setelah gempa terjadi, Abu Umar melanjutkan, tiba-tiba tanah naik, jatuh, dan keluar air dari dalam Bumi.
Awalnya berupa lumpur dan banjir, satu jam kemudian berganti menjadi air jernih yang menggenang daratan.
Ketika itu, ia berpikir harus ke mana sebab rumah sudah tidak dapat ditinggali lagi.
Ia pun pada malam itu tidur di teras rumah milik orang lain, hingga pagi menjelang.
"Malam itu saya tidak bisa tidur nyenyak karena gempa susulan yang terus menderu menggetarkan tanah," tuturnya mengenang.
Tutur dia melanjutkan, "Esok paginya saya berinisiatif untuk mencari tempat mengungsi dan alhamdulillah bertemu salah seorang teman yang kemudian mengajak saya menuju Posko Induk Wahdah Islamiyah (WI) di Kabupaten Sigi, tepatnya di Sekolah Dasar Islam Terpadu (SD IT) Qurrota A'yun."
Relawan Memanggil
Pagi itu, Sabtu (29/9/2018), ia berinisiatif untuk tinggal di posko pengungsian WI karena rumahnya yang sudah hancur lebur.
Ketika itu, ada teman yang mengajaknya mengangkat jenazah untuk dikebumikan.
Jenazah itu adalah ibu dari sang teman yang mengajaknya tersebut.
Meninggal dunia akibat terseret gelombang tsunami.