Di daerah sejuk ini pula fase kedua dalam kehidupannya di mulai, dengan memutuskan memeluk agama Islam dan menikahi kekasihnya, seorang perempuan Sunda.
Sejak itu, Visser dikenal dengan Mochammad Idjon Djanbi.
Cetak pasukan komando
Suatu hari di tahun 1951, rumah Idjon Djanbi kedatangan seorang perwira muda. Si tamu memperkenalkan diri sebagai Letnan Dua Aloysius Sugianto dari Markas Besar Angkatan Darat (MBAD).
Dalam pertemuan itu Idjon Djanbi diminta sebagai pelatih tunggal untuk melatih komando di pendidikan CIC II (Combat Inteligen Course) Cilendek, Bogor.
Tidak mudah membujuknya, sebab ia sudah hidup tenang di pedesaan sebagai petani bunga.
Letda Sugianto tak kurang akal, dirinya sampai harus bermalam dua hari di situ.
Usaha yang tak sia-sia karena akhirnya Idjon Djanbi bersedia sebagai pengajar sipil selama masa pendidikan tiga bulan.
Usai pendidikan CIC II, Idjon Djanbi kembali menekuni profesi sebelumnya.
Tanggal 2 November 1951, Kolonel Kawilarang mendapat tugas baru menjadi Panglima Tentara & Teritorium III/Siliwangi, Jawa Barat.
Kawilarang ingin mewujudkan cita-cita rekan seperjuangannya Letkol Slamet Rijadi untuk membentuk pasukan berkualifikasi komando.
Pasukan khusus semakin dibutuhkan untuk menghadapi rongrongan DII/TII pimpinan Kartosowiryo di wilayah Jawa Barat yang semakin meningkat.
Gagasan ini sulit terwujud tanpa menemukan pelatih berkualifikasi komando.
Akhirnya Kawilarang memperoleh informasi soal Idjon Djanbi. Ia lalu memanggil mantan ajudannya Letda Sugiyanto yang sudah pernah dididik Idjon Djanbi.
Terhitung 1 April 1952, atas keputusan Menteri Pertahanan Sri Sultan Hamengkubuwono IX, memutuskan bahwa Idjon Djanbi diangkat menjadi mayor infanteri TNI AD dengan NRP 17665.
Lalu ia lapor diri kepada Kolonel Kawilarang selaku Panglima Komando Tentara & Terirorium III/Siliwangi untuk menerima tugas.
Mayor (Inf) Idjon Djanbi segera melatih kader perwira dan bintara untuk membentuk pasukan khusus.
Tanggal 16 April 1952 dibentuklah pasukan khusus dengan nama Kesatuan Komando Teritorium Tentara III/Siliwangi disingkat Kesko III di bawah komando Mayor Inf Idjon Djanbi. Inilah tanggal yang dijadikan hari jadi Kopassus hingga saat ini.
Satu tahun kemudian satuan yang baru dibentuk ini diambil alih kendalinya langsung di bawah Markas Besar Angkatan Darat (MBAD).
Tanggal 14 Januari 1953, Kesko III berganti nama menjadi Kesatuan Komando Angkatan Darat (KKAD).
Lanjut pada 25 Juli 1955, KKAD berubah nama menjadi Resimen Pasukan Komando Angkatan Darat (RPKAD) di bawah komando Mayor Mochammad Idjon Djanbi.
Setahun kemudian, RPKAD menyelenggarakan pelatihan terjun payung pertama. Hal ini dimaksudkan untuk meningkatkan kemampuan pasukan komando di Margahayu Bandung.
Langkah ini diambil karena Indonesia merupakan negara kepulauan yang besar. Idjon Djanbi menginginkan prajurit RPKAD memiliki bekal sebagai pasukan payung, sehingga dapat digerakkan ke medan operasi menggunakan pesawat.
Dibuang
Masih di tahun 1956, pimpinan MBAD melihat celah untuk mengambil alih kepemimpinan RPKAD ke orang Indonesia.
Buntutnya, Mayor Idjon Djanbi ditawari jabatan baru yang jauh dari urusan pelatihan komando dengan menjadi koordinator Staf Pendidikan pada Inspektorat Pendidikan dan Latihan (Kobangdiklat).
Idjon Djanbi meminta pensiun dini akhir 1957. Idjon Djanbi yang telah menjadi WNI diberi jabatan mengepalai perkebunan milik asing yang telah dinasionalisasi.
Selepas dari sana ia berbisnis di bidang pariwisata dengan usaha penyewaan bungalow di Kaliurang, Yogayakarta.
Suatu hari di tahun 1977, Idjon Djanbi mengendarai mobil bersama keluarganya berlibur ke Yogyakarta.
Tiba di sana, ia mengeluhkan sakit hebat di bagian perutnya. Keluarga segera membawanya ke rumah sakit Panti Rapih.
Hasil diagnosa dokter diketahui bahwa Idjon Djanbi mengalami usus buntu dan harus dioperasi.
Usai dua minggu dioperasi tidak kunjung sembuh malah bertambah parah. Ternyata usus besarnya turut bermasalah, sehingga jiwanya tidak tertolong lagi.
Idjon Djanbi tutup usia di rumah sakit Panti Rapih pada 1 April 1977. Keluarga memutuskan memakamkannya di TPU Yogyakarta.
Idjon Djanbi meninggal di Yogyakarta tahun 1977, pihak berwenang sempat alpa, hingga tak disediakan protokoler upacara pemakaman secara militer, sebagaimana anggota TNI pada umumnya.
Sebagai komandan pertama Kopassus, Idjon Djanbi dimakamkan tanpa tembakan salvo. Sesuatu yang ironis.
Idjon Djanbi dikebumikan tanpa tembakan salvo penghormatan sebagai Bapak Kopassus Indonesia yang sangat berjasa mencetak Pasukan Komando berkelas dunia yang kini dikenal dengan nama Kopassus. (ian/angkasa)