UU MD3 Disahkan, TII: Langkah Mundur Bagi Demokrasi dan Pemberantasan Korupsi

Penulis: Darul Amri Lobubun
Editor: Ardy Muchlis
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Sekertaris Jendral Transparency International (TI) Dadang Trisasongko

Laporan Wartawan Tribun Timur, Darul Amri Lobubun

TRIBUN-TIMUR.COM, MAKASSAR - Hasil Revisi rapat paripurna DPR, Senin (12/2/2018) lalu, Undang-Undang (UU) Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPRD, dan DPD (MD3 disahkan

Transparency International Indonesia (TII) menilai UU ini akan mencederai amanah rakyat terhadap sistem demokrasi.

Hal tersebut diungkapkan Sekertaris Jenderal, Transparency International Indonesia (TII) Dadang Trisasongko, melalui rilis yang dikirim ke Tribun Timur Makassar, Sulsel, Rabu (14/2/2018).

"Hasil penelitian di Indonesia tunjukkan, korupsi masih sangat tinggi di lembaga-lembaga pemerintahan seperti DPR, DPRD, aparat bikokrasi, dirjen pajak dan polisi, ini dipersepsikan sebagai lembaga terkoru," kata Dadang dalam rilisinya.

Karena dalam salah satu pasal, pasal 122 Huruf K menyatakan, Mahkamah Kehormatan DPR bertugas mengambil langkah hukum dan atau langkah lain terhadap orang perseorangan, kelompok orang, badan hukum yang merendahkan kehormatan DPR dan anggota DPR.

Menurut TII, Inilah yang menjadi indikasi dan sebuah bentuk kemunduran sistem demokrasi, ini adalah suatu penghinaan terhadap parlemen merupakan dalam bentuk norma hukum baru yang sengaja diciptakan oleh DPR, untuk menjauhkan marwah lembaga dari segala kritik.

Pada tahun 2017, TII luncurkan Global Corruption Barometer (GCB)- http://riset.ti.or.id/global-corruption-barometer-2017/, yang memotret kinerja pemberantasan korupsi berdasarkan pendapat dan pengalaman masyarakat di setiap negara. Survei GCB sendiri memiliki jejak panjang sebagai sebuah rangkaian penelitian yang dilakukan secara global.

Menurut data GCB 2017, tingkat korupsi di lembaga legislatif dinilai masih tinggi, penilaian ini konsisten menempatkan legislatif sebagai lembaga paling korup, setidaknya selama tiga tahun terakhir. Berdasar pada temuan GCB pada 2013.

“Hal ini bisa disebabkan oleh dua hal. Pertama, banyaknya kasus korupsi yang melibatkan anggota legislatif, mulai dari tingkat pusat hingga daerah. Kedua, kinerja lembaga legislatif dalam menjalankan fungsi utamanya (legislasi, anggaran, pengawasan) maupun kinerja pemberantasan korupsi di internalnya tidak berjalan secara maksimal. Kritik masyarakat terhadap DPR itu adalah bagian dari hak politik warga. Apalagi dengan melihat kinerjanya selama ini," jelas Dadang.

“kecenderungan menguatnya sikap anti kritik dan perlindungan yang berlebihan bukan hanya di DPR. Kita juga bisa temui didalam ketentuan tentang penghinaan terhadap presiden di dalam Rancangan KUHP yang tengah dibahas oleh pihak pemerintah dan DPR.” lanjut Dadang.

Rilis ini, Peneliti Hukum dan Kebijakan TI Indonesia, Reza Syawawi menambahkan, ketentuan tentang mekanisme Izin pemeriksaan dari MKD untuk memeriksa anggota DPR pernah dibatalkan MK. Di putusan nomor 76/PUU-XII/2014.

"Jika pasal ini muncul lagi, maka DPR dan presiden sebagai pembentuk UU dinilai mengabaikan putusan MK, dan itu jelas-jelas telah melanggar UU tentang pembentukan peraturan perundang-undangan," jelas Reza Syawawi.

Lanjutnya, rezim izin ini diindikasikan kuat proteksi politik terhadap anggota DPR, apalagi pada kasus-kasus Korupsi yang bisa menimbulkan potensi konflik kepentingan anggota DPR. Sebaliknya, DPR justru menambah kewenangannya sendiri untuk memanggil paksa, bahkan melaporkan secara pidana.

"Jadi secara umum, UU ini tidak punya kontribusi untuk memperbaiki kinerja dan citra DPR, justru DPR RI dan Pemerintah ingin melanggengkan praktik impunitas anggota Dewan," ujar Reza.

Olehny itu, Transparency International Indonesia mendorong DPR sebagai lembaga wakil rakyat untuk bekerja lebih keras dalam upaya pemberantasan korupsi. Bukan sekedar memoles citra, atau bahkan menjauhkan diri dari kritik konstituennya. (*)

Berita Terkini