Dituduh Murtad dan Punya Nama Baru di Agama Lain, ini Doa Rina Nose

Editor: Ilham Arsyam
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Rina Nose

Sepertinya Rina Nose sudah pasrah dengan isu miring yang kini menerpa dirinya.

Lewat unggahan berlatar hitam di instagramnya Rina Nose melantunkan doa.

'Pray for KEMNUSIAAN, Pray for NURANI,' demikian tulis Rina.

Beberapa saat kemudian Rina memposting screenshot sebuah tulisan dosen tentang agama dan filsafat.

Saya mengapresiasi artikel yang ditulis oleh seorang dosen bernama Yeremias Jena di laman kompasiana.com

Terimakasih Pak, anda sangat elegan...

Ini isi lengkap tulisan Yeremias Jena dikuti dari kompasiana.

Filsafat dan Rina Nose yang Tidak Lagi Berjilbab

Sebelum dihebohkan oleh kecelakaan tunggal mobil yang ditumpangi Setya Novanto yang beradu dengan tiang listrik, ruang publik kita telah ramai dengan kisah Rina Nose, seorang selebriti cukup terkenal, yang memutuskan untuk tidak lagi mengenakan jilbab. Padahal setahun belakangan Sang Artis dikenal telah "berhijrah" alias mengubah penampilannya menjadi seorang perempuan mengenakan busana muslimah. Media sosial dan media konvensional menanggapi hal ini secara beragam. Berbagai reaksi negatif mengemuka. Tidak kurang dari tokoh agama seperti AA Gym ikut berkomentar.

Reaksi publik terhadap perubahan penampilan Rina Nose ini terbilang kejam. Ada yang mencap dia sebagai ateis, ada pula yang mengatakan bahwa perubahan itu terjadi sebagai sebuah tindakan murtad. Meskipun berbagai tudingan itu ditanggapi secara santai, misalnya dengan mengatakan bahwa "Apa pun keputusan saya, saya yakin beliau (Tuhan) yang lebih tahu" [1], Rina Nose sendiri tampak tidak bisa menutupi kegundahannya.

Dua elemen menarik bagi saya karena bersentuhan dengan tema-tema filosofis. Pertama, saya tertarik pada pernyataan Rina Nose bahwa perubahan yang dilakukannya bukan terjadi seketika; juga bukan karena dia hendak meninggalkan agama Islam. Perubahan itu adalah sebuah proses yang cukup panjang. Rina Nose sudah lama memikirkan dan mempertimbangkannya, paling tidak selama dia mengenakan jilbab, atau setidaknya selama tujuh bulan terakhir sebagaimana yang diakuinya sendiri [1]. Dengan kata lain, perubahan ini adalah sebuah proses pergulatan hidup yang sangat eksistensial. 

Kedua, perubahan itu berkaitan dengan upaya Rina Nose mencari dan menemukan jawaban-jawaban yang memuaskan terhadap berbagai pertanyaan eksistensial-filosofis yang dia hadapi. Pengakuan Rina bahwa keputusannya itu dipengaruhi oleh buku-buku filsafat yang dia baca harus dilihat sebagai upaya dia menemukan makna terdalam dari pencarian jati dirinya, dan filsafat menjadi salah satu narasi yang memuaskan dahaga jiwanya.

Proses Pergulatan

Pengakuan Rina Nose menarik untuk direnungkan. Setengah bertanya, Rina Nose menggugat, "Pernah kah di antara kalian yang suka melakukan pertanyaan dalam diri kenapa dilahirkan ke dunia? Tujuannya untuk apa, terus ketika mati apa yang akan kita rasakan. Saya suka meluangkan waktu berpikir begitu, karena dari SMA, saya suka hal yang berbau filsafat, jadi banyak pencarian. Mungkin orang ada yang umumnya hidup, hidup aja, kalau aku orang yang penuh pertanyaan. Aku meluangkan waktu untuk pencarian itu. Makanya aku ada proses untuk berhijab, melepas."[2]

Secara filosofis, apa yang dikatakan Rina Nose adalah bagian dari perenungan dan pencarian diri. Ini adalah sebuah usaha sadar mencari dan menemukan makna terdalam hidupnya. Ini adalah sebuah problem sekaligus tema klasik permenungan filsafat. Sudah sejak lama Socrates menegaskan bahwa hidup hanya bisa dikatakan baik dan berkualitas jika direfleksikan. Dan tampaknya ini telah menjadi warisan dan keyakinan yang diterima dan dipelihara para filsuf sepanjang masa. Sejak itu, para filsuf percaya, bahwa sebagai makhluk rasional yang memiliki otonomi dan kebebasan pribadi, manusia seharusnya mempertanyakan makna hidupnya. Inilah bagian terdalam dari eksistensi hidup manusia itu sendiri. 

George Curtis dalam bukunya berjudul Ancient Knowledge[3] juga menegaskan hal yang selama ini diterima dan dipelihara dalam tradisi permenungan filsafat. Sudah sejak ribuan tahun para filsuf tampaknya sepakat, bahwa pertanyaan-pertanyaan eksistensial semisal siapakah Anda, apa tujuan hidupmu, apakah hidupmu tetap bermakna jika Allah tidak ada, apakah hidupmu menjadi tidak bebas seandainya ada Allah, darimanakah asal hidupmu, apa yang terjadi pada hidupmu setelah kematian, dan seterusnya tidak bisa dijawab secara tuntas, entah oleh ilmu pengetahuan, entah oleh agama, bahkan oleh kekuatan nalar sekalipun.

Halaman
123

Berita Terkini